Hal senada diungkap dalam kitab mazhab Syafi’i yang lain, Hasyiyata Qalyubi wa Umairah sebagai berikut:
وَيُطْلَقُ الْخُطَّافُ عَلَى الْخُفَّاشِ وَهُوَ الْوَطْوَاطُ وَهُوَ حَرَامٌ أَيْضًا
“Dan dikatakan al-khuthaf untuk jenis binatang kelelawar, yaitu al-wathwhat, yang mana hukumnya juga haram” (Qalyubi dan Umairah, Hasyiyata Qalyubi wa Umairah, juz 4, halaman 261).
Adapun pendapat mazhab Hanbali tentang kelelawar disampaikan oleh tokoh fenomenal mereka bernama Ibnu Qudamah, yaitu:
وَيُحْرَمُ الْخُطَّافُ وَالْخُشَّافُ وَالْخُفَّاشُ وَهُوَ الْوَطْوَاطُ وَإِنَّمَا حُرِّمَتْ هَذِهِ لِأَنَّهَا مُسْتَخْبَثَةٌ
"Dan diharamkan memakan al-khuthaf, al-khussyaf, dan al-khuffash, yaitu kelelawar. Binatang-binatang ini diharamkan karena menjijikkan" (Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 11, h. 66).
Kedua, ulama mazhab Maliki menyatakan, kelelawar hukumnya makruh dimakan. Syekh Muhammad as-Shawi menuturkan:
(وَالْمَكْرُوهُ: الْوَطْوَاطُ) بِفَتْحِ الْوَاوِ وَهُوَ الْخُفَّاشُ
"Termasuk makanan yang makruh dimakan adalah al-watwat, dengan memberikan harakat fathah pada huruf wawu-nya, yaitu kelelawar" (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyatu as-Shawi Ala asy-Syarhi ash-Shaghir, juz 4, h. 150).