Maka, memilih Zainab dan Zaid sebagai sepasang suami-istri adalah luncur strategi yang paling aman bagi Rasulullah. Beliau memilih membuat perubahan dari lingkar terdalam keluarganya sendiri, memberi contoh yang membuat mata banyak orang terbelalak dan tersadar penuh.
Membuat perubahan memang harus dimulai dari dalam diri sendiri, dari sumbu terdekat kelompok sendiri, dari dalam partai sendiri, dari ruang-ruang kerja sendiri. Menyerukan perubahan kepada orang banyak tanpa mengubah apa yang ada di sekitarnya hanyalah angan-angan dan omong kosong belaka. Meminta orang lain berpindah haluan tanpa menggeser kakinya sendiri adalah retorika palsu – seberapapun baik dan hebatnya ide perubahan yang diusungnya itu.
Nabi Muhammad SAW kali itu membuktikan hal yang sempurna. Ia didorong oleh wahyu Allah SWT. Bahkan, ketika Zainab dan keluarganya menolak, wahyu Allah serta merta turun untuk menguatkan melalui Surat Al Ahzab ayat 36.
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka."
Jika Allah dan Rasul-Nya telah membuat keputusan, tidak ada ruang untuk menentukan pilihan lain. Satu-satunya jalan adalah dengan mengikuti dan mematuhinya. Zainab pun luluh. “Engkau rela menikahkan Zaid denganku?” tanyanya kepada Rasulullah. Setelah Rasulullah mengafirmasi, Zainab hanya memiliki satu jawaban, “Aku rela dinikahkan dengannya.”
Tetapi, betapapun Zainab merasa rela dengan keputusan Nabi Muhammad SAW, hatinya masih juga gundah gulana. Sekali ia menatap Zaid, sepuluh kali ia berpaling wajah dari Zaid. Baginya, masih ada rasa ketidakpantasan dinikahi oleh seorang mantan budak. Hatinya resah, bahkan berkali-kali disertai kemarahan. Jika Zaid datang kepadanya dengan tutur yang lembut, Zainab membalasnya dengan ketus. Cukup untuk membuat Zaid terpojok, mengkerut.