Mengubah Tragedi Menjadi Transendensi: Refleksi Reformasi 98 dan Pandemi Covid-19

, Jurnalis
Kamis 21 Mei 2020 05:11 WIB
Indonesia Lawan Corona
Share :

Lalu muncul pertanyaan besar, drama apalagi yang sedang dipertontonkan ditengah musibah ini. Hati-hati, karena situasi ini bisa mengakibatkan skeptisisme dan anak turunannya menjamur dan berjangkit, yang akhirnya memicu ketidak percayaan publik terhadap Negara.

Keterlibatan masyarakat baik secara individual maupun berkelompok (baca: organisasi kemasyarakatan) dari beragam latar belakang suku, ras dan agama saling bergandeng tangan, merapatkan barisan, terus bergerak dalam giat kemanusiaan (social action) dalam rangka pensejahteraan (welfare) dan memutus mata rantai sebaran Covid-19.

(Baca Juga : Wabah Corona Bawa Kabar Gembira untuk 2 Juta Muslim di Italia)

Aksi kepeduliaan yang dilakukan semata-mata didorong oleh asa dan rasa yang sama, bahwa tanggung jawab kemanusiaan adalah hal yang esensial yang wajib ditunaikan oleh siapapun. Kebhinekaan benar-benar menemukan momentum dan telah melahirkan semangat kebersamaan (ukhuwah basyariyah dan ukhuwah wathaniyah).

Tema tulisan ini adalah mengubah Tragedi menjadi Transendensi, sebagai upaya menyadarkan kembali potensi kemanusiaan kita sebagai makhluk teomorfis. Agama mari kita pahami sebagai spirit dan upaya sadar, bukan dengan serta merta menerima musibah sebagai takdir tanpa berikhtiar melakukan upaya apa pun. Dan yang paling naif ketika agama dijadikan komoditas politik serta dijadikan alasan saling membenci dan membunuh dalam framing Hoax.

Sebagai makhluk yang memiliki akal budi, mari kita ubah tragedi menjadi pecut dan pendorong untuk membangun semangat kebersamaan, agar terselamatkan dari turbulensi keadaan. Mari menjadi manusia yang sejatinya manusia, sadar diri, sadar bertuhan dan sadar bahwa kita adalah penghuni jagat raya yang terkoneksi dengan makhluk kosmos lainnya.

Covid-19 yang berbarengan bulan suci Ramadhan kali ini, menjadi momentum refleksi kemanusiaan kita, sebagai sarana pensucian diri dari virus-virus pemberhalaan terhadap diri, kebanggaan terhadap yang serba materialistik, kerakusan terhadap posisi dan jabatan. Mari asah sisi ruhaniyah kita sebagai sisi yang menuntun kita pada nilai, sisi yang substansial dan sarat makna, agar kita tidak terjebak dalam kejahiliyahan akut (ignorance).

(Baca Juga : Masjid Al-Aqsa Segera Dibuka Setelah Idul Fitri)

Keluarga, sebagai benteng utama dari komponen masyarakat berbangsa, stay at home dengan durasi yang begitu panjang, memiliki dampak psikologis yang tidak mudah diurai dengan teori psikososial apapun. Mungkin dengan kembali mengingat memori pernikahan, bersyahadat atas nama Tuhan, setiap keluarga mengemban misi amanat dan tanggung jawab.

Wadah tumbuh suburnya cinta kasih dan kesetiaan, merajut harmoni dan kebahagiaan. Karena dari keluarga semua kekuatan dan kebaikan bermula, dari keluarga tumbuh generasi-generasi tangguh, dari keluarga lahirlah para pemimpin bangsa, dari keluarga lahir pejuang kemanusiaan.

Rumah harus bisa menjadi miqot peradaban dan enlightenment, madrasah pertama serta sebagai embrio penyadaran untuk berfikir dan bertindak logis. Mari kita rawat kebhinekaan dan beragamalah dengan memanusiakan manusia, karena agama hadir sebagai Rahmat bagi seluruh alam.

"LOVE-CONSCIOUSNESS-FELICITY"

Oleh: Zainun Nasihah Ghufron

Pengurus Pusat ISNU, Mahasiswa S-3 UIN Syarif Hidayatullah konsentrasi Pemikiran Islam (Filsafat)

(Muhammad Saifullah )

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya