PERINGATAN hari media sosial di Indonesia jatuh setiap 10 Juni yang kali pertama dicetuskan oleh seorang pengusaha pemilik Frontier Consulting Group, Handi Irawan D pada 10 Juni 2015.
Terkait dengan penggunaan media sosial, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa Nomor 24 tahun 2017, yakni tentang Hukum dan Bermuamalah Melalui Media Sosial.
Berikut ini lima poin ketentuan fatwa MUI terkait Hukum dan Bermuamalah Melalui Media Sosial, yaitu:
1. Dalam bermuamalah dengan sesama, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial, setiap muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu'asyarah bil ma'ruf), persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma'ruf) dan mencegah kemunkaran (al nahyu an al-munkar).
Baca juga: Arab Saudi Bolehkan Ibadah Haji 2020 dengan Sejumlah Pembatasan?
2. Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong kekufuran dan kemaksiatan.
b. Mempererat persaudaraan (ukhuwwah), baik persaudaraan ke-Islaman (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), maupun persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah).
c. Memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antarumat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah.
3. Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk:
a. Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan.
b. Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.
c. Menyebarkan hoaks serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup.
d. Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i.
e. Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.
4. Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.
5. Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoaks, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
"Setiap orang yang memperoleh konten atau informasi melalui media sosial, baik yang positif maupun negatif, tidak boleh langsung menyebarkannya sebelum diverifikasi, serta dilakukan proses tabayyun yang dipastikan kemanfaatannya," ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Asrorun Ni'am Sholeh dalam keterangannya.
Baca juga: Mengenal 5 Muadzin di Zaman Rasulullah
Proses tabayyun terhadap konten atau informasi dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
a. Dipastikan aspek sumber informasi (sanad)nya, yang meliputi kepribadian, reputasi, kelayakan dan keterpercayaannya
b. Dipastikan aspek kebenaran konten (matan)nya, yang meliputi isi dan maksudnya.
c. Dipastikan konteks tempat dan waktu serta latar belakang saat informasi tersebut disampaikan.
Lebih lanjut, upaya tabayyun dilakukan secara tertutup kepada pihak yang terkait, atau dihadapan ranah publik seperti melalui group media sosial, dimana nantinya dapat menyebabkan informasi yang belum jelas kebenarannya.
"Konten atau informasi yang berisi pujian, sanjungan, dan atau hal-hal positif tentang seseorang atau kelompok belum tentu benar, karenanya juga harus dilakukan tabayyun," terangnya.
Al-Imam An-Nawawi dalam Kitab Syarh Shahih Muslim, juz 1 halaman 75 memberikan penjelasan hadis terkait dengan perilaku penyebaran setiap berita yang datang kepadanya:
وَأَمَّا مَعْنَى الْحَدِيث وَالْآثَار الَّتِي فِي الْبَاب فَفِيهَا الزَّجْر عَنْ التَّحْدِيث بِكُلِّ مَا سَمِعَ الْإِنْسَان فَإِنَّهُ يَسْمَع فِي الْعَادَة الصِّدْق وَالْكَذِب ، فَإِذَا حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ فَقَدْ كَذَبَ لِإِخْبَارِهِ بِمَا لَمْ يَكُنْ
Artinya: “Adapun makna hadits ini dan makna atsar atsar yang semisalnya adalah, peringatan dari menyampaikan setiap informasi yang didengar oleh seseorang, karena biasanya ia mendengar kabar yang benar dan yang dusta, maka jika ia menyampaikan setiap yang ia dengar, berarti ia telah berdusta karena menyampaikan sesuatu yang tidak terjadi.”
Kemudian Nabi pun mengingatkan, agar umat manusia berlaku jujur di semua tempat. Termasuk cara menggunakan media sosial untuk hal-hal positif. Rasulullah SAW bersabda:
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلىَ البِرِّ وَإِنَّ البرَّ يَهْدِيْ إِلىَ الجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتىَّ يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِيْقاً, وَإِيَّاكُمْ وَالكَذِبَ فَإِنَّ الكَذِبَ يَهِدِى إِلىَ الفُجُوْرِ وَإِنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِي إِلىَ النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كذاباً. (رواه مسلم
Artinya: Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Wajib atas kalian berlaku jujur, karena sesungguhnya jujur itu menunjukkan (pelakunya) kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan kepada Surga. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan jauhilah oleh kalian sifat dusta, karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan pelakunya kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada api Neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk selalu berdusta sehingga ia ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta." (HR. Muslim).
(Rizka Diputra)