Ini membuat Abrahah kecewa, karena ia menganggap pimpinan Suku Quraisy tidak berniat melindungi Kakbah. Abrahah juga akhirnya menilai bahwa Kakbah tidak sepenting yang dikira karena Abdul Muthalib sendiri lebih mementingkan unta-untanya.
Namun apa yang disampaikan Abdul Muthalib hanyalah sebagai pengecoh Abrahah dan pasukannya, sehingga mereka mengurungkan niat untuk menghancurkan Kakbah dan berperang melawan penduduk Makkah.
Abrahah pun melalui utusannya menekankan bahwa dirinya tidak ingin berperang, hanya menghancurkan Kakbah. Selama tidak ada bentrok, maka tidak akan ada pertumpahan darah.
Sementara itu, Abdul Muthalib tetap menasihati orang-orang Makkah untuk pergi ke lereng-lereng bukit, menghindari pasukan Abrahah, sembari mencari tempat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi di kota esok hari.
Kemudian di tengah Makkah yang sunyi, ketika penghancuran Kakbah tampak akan berjalan begitu mudah, rencana Abrahah gagal total.
Martin Lings dalam buku "Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2015)" menyebutkan gajah yang ada di barisan terdepan diarahkan pemandunya Unays menuju Kakbah. Namun ada Nufail, tawanan penunjuk jalan yang mempelajari aba-aba yang dipahami gajah itu.
Ketika Unays memberi komando agar sang gajah bangun, Nufail melakukan hal sebaliknya, yaitu memintanya duduk berlutut. Pasukan Abrahah melakukan segala cara agar gajah itu bangun, termasuk dengan memukul kepalanya dengan besi. Namun, sang gajah bergeming. Abrahah dan pasukannya tak mungkin bergerak lebih jauh lagi.
Abrahah ingin mengambil alih Kota Mekah dan Kakbah sebagai pusat perekonomian serta peribadatan bangsa Arab. Ini sejalan dengan keingin Kaisar Negus dari Ethiopia untuk menguasai seluruh tanah Arab, yang bersama-sama dengan Kaisar Byzantium menghadapi musuh dari timur, yaitu Persia (Irak/Iran).