Jika masih memungkinkan, misalnya dari keran yang berfungsi, bantuan air PDAM, dan sumber-sumber air lain yang layak untuk dibuat bersuci. Meski begitu, selama air yang digunakan untuk bersuci tidak ditemukan komponen najis atau komponen selain tanah dan debu (mukholith) yang sampai mengubah warna, rasa, atau bau dari air.
Sebab perubahan air karena faktor tercampur tanah atau debu tidak sampai mencegah kemutlakan nama air. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam kitab al-Muqaddimah al-Hadramiyah:
وَلَا يضر تغير بمكث وتراب وطحلب وَمَا فِي مقره وممره
“Perubahan air sebab diamnya air (dalam waktu lama), sebab debu, lumut, dan sebab sesuatu yang menetap dalam tempat menetapnya air dan tempat berjalannya air merupakan hal yang tidak dipermasalahkan” (Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Bafadhal, al-Muqaddimah al-Hadramiyah, Hal. 21)
Tapi berbeda halnya jika seseorang yakin bahwa perubahan warna air yang berada di sekitarnya lebih dominan karena faktor benda selain tanah yang mencampuri air (mukhalith), seperti sampah, najis dan benda lainnya, sehingga sampai mengubah terhadap bau, rasa dan warna air, maka air tersebut sudah tidak dapat digunakan untuk bersuci.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebaiknya dalam kondisi seperti itu, seseorang tetap memprioritaskan mencari air yang bersih dan jernih dalam bersuci agar ia tidak terkena dampak-dampak negatif dari penggunaan air yang kotor.
Namun meski begitu tetap diperbolehkan menggunakan air yang keruh, selama perubahan dari air banjir bukan karena faktor selain tanah dan debu, seperti najis, sampah, limbah pabrik, dan benda lain yang dapat mencampuri air. Wallahu a’lam.
(Vivin Lizetha)