Berikut lima hadits yang menjadi landasan penjelasan Ustadz Fauzan Amin tersebut, sebagaimana telah Okezone himpun:
1. Menurut keterangan Syaikhul Islam
وقوف المرأة خلف صف الرجال سنة مأمور بها، ولو وقفت في صف الرجال لكان ذلك مكروهاً، وهل تبطل صلاة من يحاذيها؟ فيه قولان للعلماء في مذهب أحمد وغيره:
"Posisi shaf perempuan di belakang laki-laki adalah aturan yang diperintahkan. Sehingga ketika perempuan ini berdiri di shaf lelaki (sesejar dengan laki-laki) maka statusnya dibenci. Apakah sholat laki-laki yang berada di sampingnya itu menjadi batal? Ada dua pendapat dalam madzhab hambali dan madzhab yang lainnya."
Kemudian Syaikhul Islam menyebutkan perselisihan mereka:
أحدهما: تبطل، كقول أبي حنيفة وهو اختيار أبي بكر وأبي حفص من أصحاب أحمد. والثاني: لا تبطل، كقول مالك والشافعي، وهو قول ابن حامد والقاضي وغيرهما
"Pendapat pertama, sholat laki-laki yang di sampingnya adalah batal, ini pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang dipilih oleh Abu Bakr dan Abu Hafsh di kalangan ulama hambali.
Pendapat kedua, sholat tidak batal. Ini pendapat Malik dan As-Syafii, pendapat yang dipilih Abu Hamid, Al-Qadhi, dan yang lainnya." (Al-Fatawa al-Kubro, 2/325).
As-Sarkhasi –ulama hanafi– (wafat 483 H) mengatakan:
بأن حال الصلاة حال المناجاة، فلا ينبغي أن يخطر بباله شيء من معاني الشهوة، ومحاذاة المرأة إياه لا تنفك عن ذلك عادة، فصار الأمر بتأخيرها من فرائض صلاته، فإذا ترك تفسد صلاته
"Ketika sholat, manusia sedang bermunajat dengan Allah, karena itu tidak selayaknya terlintas dalam batinnya pemicu syahwat. Sementara sejajar dengan perempuan, umumnya tidak bisa lepas dari syahwat. Sehingga perintah untuk memposisikan perempuan di belakang, termasuk kewajiban sholat dan jika ditinggalkan maka sholatny batal." (Al-Mabsuth, 2/30)
2. Imam Nawawi
وإنما فضل آخر صفوف النساء الحاضرات مع الرجال لبعدهن من مخالطة الرجال ورؤيتهم وتعلق القلب بهم عند رؤية حركاتهم وسماع كلامهم ونحو ذلك
"Diutamakannya shaf akhir bagi para perempuan yang hadir bersamaan dengan laki-laki dikarenakan hal tersebut menjauhkan mereka dari bercampur dengan laki-laki, melihatnya laki-laki (pada mereka), dan menggantungnya hati para perempuan kepada laki-laki ketika melihat gerakan laki-laki dan mendengar ucapan laki-laki dan semacamnya." (Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 13, halaman 127)