Terdapat dua metode yang digunakan dalam mushaf Alquran Isyarat, yaitu metode kitabah dan metode tilawah. Pada proses penyusunannya, Aziz menyebut pihaknya bersinergi dengan para ahli, teman disabilitas tuli, dan berbagai organisasi terkait.
"Bersama-sama merumuskan kesepakatan mengenai huruf, harakat, dan tanda baca. Setelah itu, tim yang sama menyusunnya dengan melibatkan semua stakeholder yang terlibat," urainya.
"Kita cek satu per satu, kita susun ayatnya mulai dari Surat Al Fatihah sampai An-Nas. Kita cek dan baca satu per satu hurufnya, harakatnya, karena ini Alquran tidak boleh ada yang kurang atau kelebihan huruf maupun harakat. Kami memastikan bahwa nanti Alquran yang kami cetak sudah sahih, tidak ada lagi kesalahan. Tidak ada lagi kesalahan," sambungnya.
Aziz menjelaskan bahwa proses penyusunan mushaf Alquran Isyarat sudah dimulai sejak 2021 dengan diawali menyusun panduan membaca Alquran bahasa isyarat. Setelah peluncuran Juz 'Amma bahasa isyarat pada 2022, pihaknya kemudian melanjutkan penyusunan seluruh 30 juz Alquran dalam bahasa isyarat.
Mushaf Alquran Isyarat ini, terang dia, merupakan wujud perhatian penuh pemerintah dalam hal ini Kemenag melalui LPMQ terhadap layanan keagamaan, khususnya terkait Alquran. Upaya ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menegaskan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan layanan kitab suci dan lektur keagamaan yang mudah diakses.
"Sesuai dengan UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, di situ disebutkan dalam Pasal 14 di huruf C itu jelas dikatakan bahwa penyandang disabilitas juga berhak mendapat layanan kitab suci dan juga lektur keagamaan yang mudah diakses," pungkasnya.
(Hantoro)