HUKUM makan kepiting menurut Islam sangat penting diketahui semua Muslim. Pasalnya, kepiting hidup di dua alam yakni air dan darat.
Kepiting merupakan salah satu hidangan laut favorit masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Sebab, daging kepiting sangat lezat dan bernilai gizi tinggi. Akan tetapi problematika hukum makan kepiting hingga saat ini masih ada yang memperdebatkannya, halal atau haram?
Pimpinan Lembaga Pengembangan Dakwah dan Pondok Pesantren Al Bahjah Cirebon KH Yahya Zainul Ma’arif atau akrab disapa Buya Yahya mengatakan memang benar menurut sebagian kalangan mazhab Syafii haram makan kepiting.
"Memang disebutkan dalam mazhab Imam Syafii membahas tentang hukum memakan kepiting," ujar Buya Yahya seperti dikutip dari kanal YouTube Al Bahjah TV.
Ia menjelaskan, haram yang dimaksud oleh Imam Syafii adalah kepiting yang hidup di darat. Kepiting tersebut ketika menyentuh air sekadar minum. Sementara kepiting-kepiting yang ditemui di pantai terbagi dua jenis, kepiting yang benar-benar hidup di laut dan di darat.
"Nah yang di pantai bisa dibedakan. Ada kepiting di darat dan di laut. Orang-orang pantai yang membedakan," terang Buya Yahya.
Oleh karena itu, lanjut dia, bisa diambil jalan tengahnya. Bahwa kepiting yang ada di laut, keluar hanya untuk jalan sesaat, kemudian kembali lagi ke laut, maka itu halal. Sebab semua hewan di laut itu boleh dimakan.
Menurut Imam Malik, memakan kepiting yang hidup di darat maupun di air atau laut dibolehkan atau halal.
"Jika mengikuti Imam Malik bukan sesuatu yang terlarang. Dengan niat benar-benar patuh, dan niat menurut syariat, bukan seenaknya sendiri," tutur Buya Yahya.
Ia mengatakan, sesuatu yang berniat kepada syariat, maka dibolehkan. Namun jangan hanya karena makanan, maka sembarangan mengambil keputusan.
Sementara dilansir nu.or.id, kepiting dalam fikih dikenal dengan istilah "al-hayawan al-barma’i" yaitu hewan yang dapat hidup di darat dan di laut, sebagaimana katak, penyu, dan buaya.
Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengonsumsi hewan yang kaya kolesterol ini. (Lihat kitab Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 4, halaman 2799)
Menurut sebagian kalangan Mazhab Hanafi dan Syafii, mengonsumsi kepiting hukumnya haram, sebab termasuk kategori khaba'its (sesuatu yang menjijikkan).
Kalangan Mazhab Hanafi mengharamkan kepiting karena menurut mereka hewan laut yang halal dikonsumsi hanya ikan. Sedangkan hewan lain selain ikan hukumnya haram, walaupun hidup di laut.
Imam Ibnu Abidin menerangkan:
وَمَا عَدَا أَنْوَاعُ السَّمَكِ مِنْ نَحْوِ إِنْسَانِ الْمَاءِ وَخِنْزِيْرِهِ خَبِيْثٌ فَبَقِيَ دَاخِلًا تَحْتَ التَّحْرِيْمِ. وَحَدِيْثُ (هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ وَالْحِلُّ مَيْتَتُهُ) الْمُرَادُ مِنْهُ السَّمَكُ
"Dan selain berbagai macam ikan, seperti manusia laut dan babi laut, adalah menjijikkan dan masuk kategori haram. Sedangkan hadits; (Laut itu suci airnya dan halal bangkainya), maksudnya adalah ikan." (Lihat: Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 6, halaman 307)
Imam At-Thahawi dalam kitab Mukhtashar Ikhtilafil Ulama menyebutkan:
وَلَا يُؤْكَلُ شَيْءٌ مِنْ حَيَوَانِ الْبَحْرِ إِلَّا السَّمَكَ
"Dan binatang laut dalam bentuk apa pun tidak boleh dimakan kecuali ikan." (Lihat: At-Thahawi, Mukhtashar Ikhtilafil Ulama, juz 3, halaman 214)
Sama dengan Mazhab Hanafi, kitab-kitab Mazhab Syafii pun juga secara tegas menyebutkan keharaman mengonsumsi kepiting. Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu' menuliskan:
وَعَدَّ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ مِنْ هَذَا الضَّرْبِ الضِّفْدَعَ وَالسَّرَطَانَ، وَهُمَا مُحَرَّمَانِ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّحِيْحِ الْمَنْصُوْصِ، وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُوْرُ
"Syekh Abu Hamid dan Imam al-Haramain memasukkan katak dan kepiting ke dalam kategori binatang yang dapat hidup di dua tempat. Dua binatang tersebut diharamkan menurut pendapat yang shahih dan tercatat dalam mazhab. Dan dengan hukum haram ini, mayoritas ulama mazhab memutuskan." (Lihat: Imam Nawawi, Al-Majmu', juz 9, halaman 30)
Imam Ad-Dumairi berkata:
يَحْرُمُ أَكْلُهُ لِاسْتِخْبَائِهِ كَالصَّدَفِ، قَالَ الرَّافِعِي : ولِمَا فِيْهِ مِنَ الضَّرَرِ
"Haram memakan kepiting karena ia selalu menyelinap (bersembunyi) seperti kerang. Imam Rafi'i berkata: Dan karena ia mengandung bahaya. (Lihat: Ad Dumairi, Hayatul Hayawan al-Kubra, juz 1, halaman 391)
Kemudian menurut Mazhab Maliki dan Hanbali, kepiting halal dikonsumsi. Seorang ulama bermazhab Maliki bernama Ibnu Abdil Bar menyebutkan:
وَصَيْدُ البَحْرِ كُلُّهُ حَلَالٌ إِلَّا أَنَّ مَالِكاً يَكْرَهُ خِنْزِيْرَ الْمَاءِ لِاسْمِهِ وَكَذَلِكَ كَلْبُ الْمَاءِ عِنْدَهُ وَلَا بَأْسَ بِأَكْلِ السَّرَطَانِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَالضِّفْدَعِ
"Dan binatang buruan laut semuanya halal, hanya saja imam Malik memakruhkan babi laut karena namanya, begitu pula anjing laut, menurutnya. Dan tidak haram memakan kepiting, penyu, dan katak." (Lihat: Ibnu Abdil Bar, Al-Kafi, juz 1, halaman 187)
Senada dengan ulama Mazhab Maliki, para ulama mazhab Hanbali juga menghalalkan kepiting. Ibnu Muflih menuturkan:
وَعَنْهُ – أَيْ عَنْ أَحْمَدَ - فِي السَّرَطَانِ وَسَائِرِ الْبَحْرِيْ : أَنَّهُ يَحِلُّ بِلَا ذَكَاةٍ؛ لِأَنَّ السَّرَطَانَ لَا دَمَ فِيْهِ
"Dan dari Imam Ahmad tentang hukum kepiting dan berbagai binatang laut: Ia halal sekalipun tidak disembelih, sebab kepiting tidak memiliki darah (mengalir)." (Lihat: Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, juz 9, halaman 214)
Sedangkan dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah menjelaskan:
كُلُّ مَا يَعِيْشُ فِي الْبَرِّ مِنْ دَوَابِّ الْبَحْرِ لَا يَحِلُّ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ كَطَيْرِ الْمَاءِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَكَلْبِ الْمَاءِ إِلَّا مَا لَا دَمَ فِيْهِ كَالسَّرَطَانِ فَإِنَّهُ يُبَاحُ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ
"Setiap apa yang (dapat) hidup di daratan berupa binatang melata laut itu tidak halal, tanpa disembelih (terlebih dahulu), seperti burung laut, penyu, dan anjing laut. Kecuali binatang yang tidak memiliki darah, seperti kepiting, maka boleh dimakan tanpa disembelih." (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 9, halaman 337)
Selanjutnya pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang hukum memakan kepiting. Dalam fatwa tersebut diputuskan bahwa kepiting halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia.
Fatwa itu didasarkan pada hasil temuan mereka yang menyebutkan bahwa kepiting merupakan binatang air, baik di air laut maupun di air awar, dan bukan binatang yang hidup di dua alam; di laut dan di darat.
Allahu a'lam.
(Hantoro)