JAKARTA - Ada sejumlah larangan bagi wanita yang sedang haid. Larangan tersebut terkait ibadah dan aktivitas tertentu.
Haid atau menstruasi merupakan siklus alami bulanan yang rutin dialami wanita sehat dan sistem reproduksinya masih berfungsi dengan normal. Pada kondisi ini, ada sejumlah ibadah yang tidak bisa dikerjakan wanita haid.
Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Kasyifatus Saja Syarah Safinatun Naja (Indonesia, Daru Ihya'il Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun), halaman 30-32 menjelaskan, ada 10 larangan bagi wanita yang sedang haid. Berikut 10 larangan wanita yang sedang haid, melansir laman Kemenga, Selasa (23/9/2025):
Wanita yang sedang haid dilarang melaksanakan sholat, baik sholat wajib maupun sunnah. Sholat bagi wanita haid, baik yang disengaja maupun tidak, dianggap tidak sah. Selain itu, kewajiban sholat yang terlewat saat haid pun tidak perlu diqada. Ini berbeda dengan puasa yang wajib diqada.
Hal itu karena sholat dilaksanakan 5 kali dalam sehari. Hal ini bisa membuat wanita kesulitan dan berat untuk mengqadanya.
Ini berbeda dengan puasa Ramadhan yang hanya terjadi 1 bulan dalam setahun sehingga mengqadanya tidak dinilai memberatkan. Sayyidah Aisyah berkata:
كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
Artinya: “Kami diperintahkan untuk mengqada puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqada sholat.” (HR Muslim)
Seperti dijelaskan di atas, wanita yang sedang haid atau nifas dilarang melaksanakan puasa. Diketahui, rukun puasa ada 2, yaitu niat dan menahan diri dari makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Karena itu, jika seorang wanita hanya menahan diri dari makan dan minum tanpa disertai niat puasa, hukumnya tetap diperbolehkan. Wanita yang tidak menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadan karena haid, harus menggantinya (qada) di bulan lain.
Wanita haid dan orang yang punya hadats besar dilarang berdiam diri di masjid atau sekadar mondar-mandir di dalam masjid. Ketentuan hukum ini berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah, sebagaimana berikut:
لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ
Artinya: “Aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan haid dan orang junub.” (HR Abu Dawud)
Bagaimana jika darurat? Misalnya wanita haid harus hadir di masjid karena ada acara penting yang tidak bisa diwakilkan atau punya kewajiban mengajar. Terkait hal ini, sebagian ulama membolehkannya dengan catatan wanita tersebut harus benar-benar bisa menjaga darah haid agar tidak menetes ke lantai masjid.
Wanita yang sedang haid dan nifas dilarang untuk melaksanakan tawaf, baik tawaf yang termasuk dalam rangkaian ibadah haji maupun di luar itu. Larangan ini juga mencakup tawaf wajib seperti tawaf ifadah dan tawaf wada’, serta tawaf sunnah seperti tawaf qudum.
Tawaf dilaksanakan di dalam masjid (Masjidil Haram), sementara masuk masjid saja sudah termasuk larangan bagi wanita haid. Para ulama tetap menegaskan larangan tawaf agar tidak timbul salah persepsi, seolah-olah tawaf diperbolehkan karena wukuf di Arafah saja, yang merupakan rukun haji paling utama, tetap boleh dilakukan wanita haid.
Wanita yang sedang haid dilarang untuk istimta’, yaitu berhubungan badan atau bersenang-senang pada area antara pusar dan lutut, entah itu dilakukan dengan syahwat maupun tidak. Adapun selain area tersebut, suami masih diperbolehkan untuk bersenang-senang dengannya. Selain itu, wanita yang sedang haid juga dilarang menyentuh suaminya dengan bagian tubuh yang berada di antara pusar dan lutut, karena sesuatu yang diharamkan untuk disentuh juga diharamkan digunakan untuk menyentuh.
Wanita haid juga dilarang untuk menyentuh mushaf Alquran secara langsung. Menyentuh dalam konteks ini menyangkut seluruh anggota tubuh, tidak mesti dilakukan telapak tangan saja. Larangan ini diberlakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap kesucian Alquran.
Menyentuh kitab-kitab yang di dalamnya terdapat kutipan ayat Alquran hukumnya boleh, karena kitab tersebut tidak terhitung mushaf. Adapun kitab tafsir, jika di dalamnya lebih banyak memuat ayat-ayat Alquran, maka haram menyentuh dan membawanya. Sebaliknya, jika lebih banyak teks-teks selain Alquran, mayoritas ulama berpendapat tidak haram, meski ada juga yang memakruhkannya.
Selain menyentuh mushaf Alquran, wanita haid juga dilarang untuk membawanya. Larangan ini berlaku juga untuk kitab tafsir yang ketentuan hukumnya sama seperti menyentuh mushaf, yakni berdasarkan perbandingan antara jumlah ayat Alquran dengan teks selainnya.
Sementara itu, para ulama berbeda pendapat terkait hukum membalikkan lembaran mushaf dengan alat bantu seperti tongkat atau lainnya. Sebagian ulama menghukumi haram karena tindakan itu terhitung sebagai menyentuh. Sementara ulama lain membolehkannya karena hal itu bukan termasuk menyentuh sebab tidak dilakukan secara langsung oleh anggota badan. Adapun membalikkan lembaran mushaf dengan lengan baju, para ulama sepakat menghukuminya haram.
Wanita haid dan seseorang yang mempunyai hadats besar dilarang untuk membaca Alquran dengan lisan, baik hanya satu ayat atau pun lebih. Sementara itu, jika membacanya di dalam hati atau melihat mushaf untuk direnungkan maknanya masih dibolehkan.
Selain itu, dibolehkan juga untuk berzikir atau membaca doa yang lafaznya berasal dari ayat Alquran dengan catatan niatnya bukan dalam rangka membaca Alquran. Misalnya, saat tertimpa musibah membaca inna iillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn, saat memohon kebaikan membaca rabbana âtinâ fid-dunyâ hasanah wa fil-âkhirati hasanah wa qinâ ‘adzâban-nâr, atau doa lainnya.
Wanita yang sedang haid dilarang melintasi area masjid. Larangan ini berlaku jika ada kekhawatiran darahnya akan menetes dan menumpahkan najis di lantai masjid karena menjaga kesucian masjid adalah kewajiban. Namun jika diyakini aman karena menggunakan pembalut misalnya, maka melewati masjid diperbolehkan, itu pun jika ada keperluan yang mendesak. Sedangkan jika tidak ada keperluan maka hukumnya menjadi makruh.
Wanita yang sedang haid tidak boleh ditalak atau diceraikan oleh suaminya karena hal itu hukumnya haram. Seorang suami yang nekat menalak istrinya dalam keadaan haid dihukumi melakukan dosa besar. Namun, ketentuan ini tidak berlaku untuk beberapa keadaan, di antaranya adalah untuk wanita yang belum pernah digauli oleh suaminya.
Wallahualam
(Erha Aprili Ramadhoni)