JAKARTA – Bencana banjir yang melanda Sumatera telah menimbulkan duka mendalam bagi masyarakat Indonesia dan menggerakkan banyak pihak melakukan penggalangan dana untuk membantu serta meringankan beban korban bencana. Namun, di tengah situasi seperti ini tidak jarang ada oknum yang memanfaatkan keadaan dengan menyalahgunakan dana bantuan dengan memberikannya kepada korban fiktif.
Lalu bagaimana hukumnya menyalahgunakan dana hasil donasi bencana dengan memberikannya kepada korban fiktif? Berikut penjelasannya, sebagaimana dilansir NU Online.
Dalam Islam, Allah SWT secara tegas melarang siapa pun menyalahgunakan amanat, termasuk dana hasil donasi bencana, terlebih dengan menyalurkannya kepada korban fiktif. Berikut beberapa argumen yang menjelaskan larangan tersebut.
Pertama, Allah SWT melarang menyelewengkan amanat. Allah berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 27:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul serta janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.”
Dalam tafsirnya, Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa ayat ini secara tegas melarang untuk mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan amanat yang telah diberikan. Amanat yang dimaksud ialah setiap pekerjaan yang dipercayakan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya untuk dilakukan dengan baik dan sesuai prosedur, termasuk menyampaikan amanat donasi bencana kepada korban nyata, bukan kepada korban fiktif.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili menerangkan:
والأمانة: الأعمال التي ائتمن الله عليها العباد من الفرائض والحدود، وخيانتها: تعطيل فرائض الدين، والتحلل من أحكامه والاستنان بسنته، وتضييع حقوق الآخرين
Artinya: “Amanah adalah segala amal yang Allah percayakan kepada hamba-hamba-Nya berupa kewajiban-kewajiban dan ketentuan-ketentuan. Sedangkan khianat terhadap amanah itu ialah menelantarkan kewajiban agama, melepaskan diri dari hukum-hukumnya dan dari tuntunan sunnahnya, serta menyia-nyiakan hak-hak orang lain.” (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 2009 M], jilid V, hal. 314).
Sementara itu, Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa maksud dari amanat pada ayat di atas ialah titipan yang dipercayakan untuk dijaga sehingga orang yang menitipkan merasa aman dan suatu saat akan diambil dalam keadaan utuh. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Jakarta: Lentera Hati], Vol. 5, hal. 423).
Kedua, menyalahgunakan dana donasi korban bencana termasuk ghulul. Dalam ajaran Islam, menyelewengkan harta dinamakan ghulul dan perilaku ini termasuk ke dalam dosa besar.
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اللهِ ﷺ ذَاتَ يَوْمٍ، فَذَكَرَ الْغُلُولَ فَعَظَّمَهُ وَعَظَّمَ أَمْرَهُ
Artinya: “Dari Abi Hurairah, berkata: Kami bersama Rasulullah SAW pada suatu hari, lalu Rasulullah menyebutkan ghulul. Rasul menganggapnya berat dan menganggap persoalan terkait ghulul adalah sesuatu yang berat.” (HR. Muslim).
Terkait hal ini, Imam An-Nawawi dalam syarahnya atas Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadits di atas merupakan kecaman keras bagi pelaku ghulul atau penyeleweng harta. Imam An-Nawawi menegaskan bahwa ghulul termasuk dosa besar dan pelakunya diwajibkan mengembalikan harta yang ia selewengkan.
Imam An-Nawawi menjelaskan:
لِأَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ وَرَدَ فِي الْغُلُولِ وَأَخْذِ الْأَمْوَالِ غَصْبًا فَلَا تَعَلُّقَ لَهُ بِالزَّكَاةِ وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى تَغْلِيظِ تَحْرِيمِ الْغُلُولِ وَأَنَّهُ مِنَ الْكَبَائِرِ وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ عَلَيْهِ رَدَّ مَا غَلَّهُ فَإِنْ تَفَرَّقَ الْجَيْشُ وَتَعَذَّرَ إِيصَالُ حَقِّ كُلِّ وَاحِدٍ إِلَيْهِ
Artinya: “Hadits ini menjelaskan ghulul dan penyelewengan terhadap harta, tidak ada kaitannya dengan zakat. Umat Islam sepakat bahwa perilaku ghulul sangat diharamkan dan termasuk ke dalam dosa besar. Ulama sepakat bahwa pelaku ghulul wajib mengembalikan harta yang ia selewengkan meski para tentara sudah berpisah dan sulit untuk mengembalikan hak kepada setiap dari mereka.” (An-Nawawi, Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim, [Beirut, Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, 1392 H], juz 12, hal. 217).
Dalam hukum positif Indonesia, menyalahgunakan donasi bencana kepada korban fiktif bisa dikenakan pasal tindak pidana penipuan, yakni Pasal 378 KUHP dan Pasal 492 UU 1/2023. Sebab dana donasi yang dikumpulkan dimaksudkan untuk membantu korban bencana, bukan untuk menguntungkan pihak yang menggalang donasi.
Pasal 378 KUHP: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
Pasal 492 UU 1/2023: “Setiap Orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”
Adapun denda kategori V dalam Pasal 492 UU 1/2023 adalah Rp500 juta.
(Rahman Asmardika)