Kita juga tidak akan lupa mengenai kisah Sahabat Umar bin Khattab RA yang pernah ditegur secara langsung oleh seorang wanita ketika beliau memberikan maklumat di sebuah majelis tentang batasan mahar. Sahabat Umar menerima dengan senang hati masukan dari wanita tersebut. Namun, yang menjadi poin penting di sini adalah bagaimana keterlibatan langsung para wanita ketika itu dalam dinamika kehidupan sosial.
Dalam berbagai literatur klasik, mayoritas ulama sangat membatasi ruang gerak wanita untuk beraktivitas di tempat-tempat umum yang meniscayakan interaksi dan komunikasi dengan lawan jenis. Selain didasarkan kepada ayat Al-Qur’an yang menyuruh para wanita tetap di rumah, hal tersebut juga dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian demi menjaga kehormatan seorang wanita agar tidak dinodai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Namun, larangan keluar rumah terhadap perempuan sejatinya didasarkan pada satu alasan, yaitu mencegah terjadinya mafsadah atau fitnah. Ketentuan ini adalah bentuk tindakan preventif dari syara’ agar para wanita tetap terjaga kehormatannya. Karena akar dari pelecehan dan tindakan asusila lainnya yang terjadi kebanyakan berawal dari keteledoran para wanita dalam menjaga batas-batas syariat dan adab yang berlaku.
Namun, jika probabilitas terjadinya fitnah tersebut kecil atau bahkan tidak ada, maka aktivitas wanita di ruang publik tidak menjadi soal. Apalagi jika hal tersebut dilakukan karena suatu keperluan, seperti berobat, belajar-mengajar, atau aktivitas penting lainnya. Hal ini sejalan dengan kaidah dalam ushul fiqih yang mengatakan:
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
Artinya: "Eksistensi suatu hukum bergantung kepada ada atau tidak adanya illatnya."