Qalbu Sebagai Fungsi Intelektual
Di dalam Alquran, fungsi intelektual Qalbu disebut dengan dua ungkapan. Pertama diungkapkan dengan kata ‘aql yang telah diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi akal. Secara harfiah, kata ‘aql berarti ikatan. Adapun jika didefinisikan secara sederhana, ‘aql adalah salah satu fungsi qalbu yang cenderung mengikat kesadaran manusia untuk berpikir normal. Apabila ikatan ini tidak bekerja maksimal, maka manusia disebut jāhil (bodoh).
Atas dasar ini, maka Arab lama yang Paganis atau penyembah berhala disebut sebagai kaum jāhilīyah. Adapun orang yang terlepas dari ikatan ‘aql dapat disebut dengan majnūn (gila). Ironisnya, bagi kaum Jāhilīyah justru orang berbudi dan cerdas disebut sebagai majnūn. Oleh karena itu, wajar sosok ideal seperti Nabi Muhammad SAW dituduh gila di awal kenabiannya.
Fakta menarik dari teks-teks mengenai ini adalah tidak ada ayat di dalam Alquran yang menyebutkan ‘aql dengan ungkapan kata benda abstrak (maṣdar) atau noun, tetapi selalu dengan kata kerja (fi‘l). Di dalam Bahasa Arab, kata kerja dibagi menjadi tiga, yaitu masa lalu (māḍī), sekarang, dan akan datang (muḍāri‘). ‘Aql senantiasa disampaikan dalam bentuk mudāri‘. Ini menyiratkan bahwa akal manusia dituntut agar selalu aktif untuk masa sekarang dan masa mendatang.
Secara kuantitas, kata kerja dalam bentuk orang kedua plural (kamu berpikir-ta‘qilūn) ditemukan sebanyak 24 kali di dalam Alquran. Adapun dalam bentuk orang ketiga (mereka) maka ditemukan lebih sedikit, yaitu 22 kali. Artinya, Allah mengajak kita sebagai manusia berkomunikasi langsung sebanyak 24 kali. Komunikasi tersebut menggunakan tiga gaya bahasa, pertama istifhām (mempertanyakan) terhadap eksistensi sebagai orang berakal. Ini diungkapkan dengan kalimat A-fa-lā ta‘qilūn yang berarti, “Apakah engkau tidak berpikir” tentang ayat-ayat-Nya. Sebagai contoh, ini ditemukan dua kali dalam surat al-Baqarah ayat 44 dan 76.
Kedua, taḥaddī (menantang) terhadap kemampuan intelektual. Gaya bahasa ini diekspresikan dalam kalimat in-kuntum ta‘qilūn atau semaknanya yang berarti, “Jika engkau benar berpikir” maka buktikanlah. Ungkapan ini tidak banyak dijumpai di dalam Alquran, karena identik dengan dialektika berpikir yang berujung kepada perdebatan yang membutuhkan pembuktian. Penggunaan kalimat ini diabadikan di dalam Alquran sebagai dialog rumit antara Nabi Musa AS dan Fir’aun yang saling “serang”. Kita dapat menikmatinya dalam surat al-Syu‘arā’ ayat 28.
Ketiga, tarajjī (harapan) agar dapat berpikir maksimal. Ini diungkapkan dengan penambahan kata la‘alla ta‘qilūn yang berarti, “Agar kamu berpikir” terhadap ayat-ayat Allah. Gaya bahasa ini tidak terlalu sering digunakan di dalam Alquran, karena pada dasarnya manusia itu adalah makhluk yang berpikir. Biasanya, ayat-ayat dengan model ini dimulai dengan fakta-fakta menarik dan “menohok” lalu diharapkan agar manusia memikirkannya. Ini dapat dilihat dari Surat al-Baqarah ayat 73.
Penulis: Dr. Arrazy Hasyim, MA
Dosen Pasca Sarjana Institut Ilmu al-Qur’an
Dai Cordofa (Corps Dai Dompet Dhuafa)
(Muhammad Saifullah )