Ia orang miskin, tidak memiliki harta (sedikit pun) kecuali apa yang diberikan (Sayyidina) Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu kepadanya. Ia termasuk kaum muhajirin fi sabîlillah. Allah mengampuni Misthah dari perbuatannya, dan ia didera karena perbuatannya itu.
(Sayyidina) Abu Bakr ash-Shiddiq dikenal sebagai orang mulia dan dermawan terhadap para kerabatnya dan orang lain (bukan kerabat). Ketika ayat ini turun sampai kalimat (QS. An-Nur: 22): “allâ tuhibbûna an yaghfirallahu lakum” (Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian?)
Maksudnya, karena sesungguhnya balasan (pahala) sesuai dengan jenis amal (yang dilakukannya), sebagaimana kau mengampuni dosa orang yang bersalah kepadamu, maka Allah pun mengampuni dosa-dosamu; sebagaimana kau memaafkan (kesalahan orang lain), maka Allah pun memaafkan (kesalahan)mu juga.
Seketika itu juga (Sayyidina Abu Bakr) ash-Shiddiq berkata: “Benar. Demi Allah, sungguh kami suka, wahai Tuhan kami, bila Engkau mengampuni kami.” Kemudian ia kembali memberi bantuan nafkah kapada Misthah (seperti dulu) sembari berujar: “Demi Allah, aku tidak akan mencabut (bantuanku lagi) selama-lamanya,” sebagai pengimbang perkataannya yang lalu, (yaitu ucapan): “Demi Allah, aku tidak akan memberinya bantuan lagi selama-lamanya.” Karena itulah ia, (Abu Bakr) ash-Shiddiq adalah ash-Shiddiq (orang yang sangat terpercaya). Semoga Allah meridhainya dan puterinya (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyad: Dar Thayyibah, 1999, juz 6, h. 31).
Dari riwayat di atas, kita bisa mengambil dua poin penting. Pertama, pelajaran bahwa sebesar apa pun kesalahan seseorang, memaafkan jauh lebih baik daripada menyimpan dendam.
Orang yang memaafkan, akan mendapatkan peluang dimaafkan lebih besar dari sesamanya ketika ia berbuat salah. Karena itu Allah mengajukan pertanyaan (QS. An-Nur: 22): “Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?”
Pertanyaan ini dijelaskan secara berkait dalam tafsir Ibnu Katsir di atas, yaitu: “Kau mengampuni dosa orang yang bersalah kepadamu, maka Allah pun mengampuni dosa-dosamu; sebagaimana kau memaafkan (kesalahan orang lain), maka Allah pun memaafkan (kesalahan)mu juga.” Di sini kita bisa melihat kesinambungan.
Bagi orang yang beriman, tidak ada seorang pun yang tidak suka mendapatkan ampunan Allah. Semua orang mengharapkan ampunan-Nya. Artinya kita telah mengalami sendiri perasaan itu, hanya saja mungkin hati kita masih kurang tajam dalam merasa.
Orang akan merasa susah ketika ia memendam rasa bersalah. Begitu beratnya penantian untuk dimaafkan akibat kesalahan. Apalagi jika orang tersebut benar-benar merasa bersalah dan meminta maaf seperti kasus Misthah bin Utsatsah di atas.
Oleh karena itu, Allah mengajukan pertanyaan tersebut. Berhubung Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq memiliki keluasan perasaan dan kecerdasan hati, ia langsung paham maksud ayat tersebut.