Beliau langsung mencabut sumpahnya dan kembali memberi bantuan nafkah untuk Misthah bin Utsatsah. Padahal kesalahan yang dilakukan Misthah bukan kesalahan biasa. Ia ikut menyebarkan fitnah tentang Sayyidah Aisyah, puteri kesayangan Abu Bakr ash-Shiddiq.
Seperti dilansir NU Online, kekecewaan Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq tentu dapat dipahami, karena orang yang selama ini dibantunya ikut terlibat dalam penyebaran fitnah keji atas puterinya, apalagi Misthah adalah kerabatnya, anak bibinya (sepepunya).
Namun dengan kelapangan hati ia mencabut sumpahnya setelah mendengar firman Allah. Ini menunjukkan bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk dimaafkan, sebagaimana setiap orang punya keinginan diampuni segala dosanya oleh Allah.
Kedua, semarah apa pun seseorang, jangan sampai kemarahan tersebut menghalanginya membantu orang yang membutuhkan. Oleh karena itu Allah berfirman (QS. An-Nur: 22): “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.”
Artinya, dalam konteks membantu orang lain, Allah menghendaki kita untuk melihat keadaannya yang miskin. Jangan melihat mereka dari kesalahan yang mereka perbuat kepada kita.
(Dyah Ratna Meta Novia)