Muslim Cham merupakan komunitas muslim minoritas di Kamboja. Mereka kelompok yang terpinggirkan, kurang pendidikan dan perekonomiannya lemah.
Seorang muslim Cham yang bekerja sebagai penjual ikan, Sen Ror, 30 tahun, mengaku dapat menghasilkan pendapatan senilai $7.50 atau sekira Rp100 ribu pada hari yang baik.

Namun biasanya ia hanya bisa membawa pulang uang $2.50 atau sekira Rp 25 ribu. Uang yang dia peroleh dari penjualan ikan tersebut ia gunakan untuk membeli makanan untuk empat anaknya dan ayahnya yang sudah lanjut usia.
Namun kata perempuan tersebut, ancaman yang lebih mengerikan adalah Pemerintah Kamboja telah memerintahkan Sen Ror dan ratusan muslim Cham lainnya untuk segera meninggalkan rumah mereka di sepanjang tepi Sungai Phnom Penh.
Sen Ror sendiri tumbuh di Semenanjung Phnom Penh tempat Tonle Sap dan Sungai Mekong bertemu. Dia terpaksa menceraikan suaminya beberapa tahun yang lalu karena kecanduan narkoba sehingga ia sekarang menjadi satu-satunya orang yang memberi nafkah bagi keluarganya.
Akhir bulan lalu, Kepala Distrik Klang Huot memberi komunitas muslim Cham tenggat waktu sepekan untuk pergi dari tepi Sungai Phnom Penh untuk memastikan keamanan, keselamatan, ketertiban, keindahan dan ketertiban umum dan dalam persiapan Asia Europe Meeting (ASEM). Mereka diminta pergi demi menjaga keindahan Ibu Kota Kamboja tersebut.
KTT ASEM akan berlangsung tahun depan di Sokha Hotel, yang terletak di semenanjung di pusat Ibu Kota Kamboja.
Seperti Sen Ror, 77 keluarga lain juga harus pindah. Lebih dari 100 keluarga tambahan merupakan nelayan migran yang tidak boleh kembali ke Phnom Penh seperti yang biasanya mereka lakukan setiap tahun.
Komunitas muslim Cham telah meminta perpanjangan tenggat waktu untuk menemukan tempat baru untuk pindah. Namun mereka belum menerima tanggapan resmi apa pun. Mereka juga tak mempunyai uang untuk membeli sebidang tanah baru.