PERJUANGAN Pangeran Diponegoro mengusir penjajah dari Indonesia menjadi bukti bahwa tarekat tidak melulu mengajarkan tentang mengejar akhirat. Namun sebenarnya seimbang antara dunia dan hari akhir.
Lalu apa hubungannya Pangeran Diponegoro dengan tarekat? Dikutip dari laman Jam'iyah Ahlit Thariqah Al-Mu'tabarahAn-Nahdliyah (JATMAN) pada Jumat (13/3/2020), Kiai Maja, tokoh spiritual kala itu, mengatakan kepada sang pangeran, “Kamu adalah seorang sufi.” Jadi dia adalah sufi yang ditakuti Belanda.
Pernyataan ini ditegaskan Kiai Maja untuk menguatkan spirit Pangeran Diponegoro, yang juga pengikut Tarekat Sattariyah, saat berjuang melawan kolonialisme Belanda.
Di berbagai belahan dunia, gerakan tarekat juga terbukti telah menjadi penggerak bagi perlawanan terhadap kolonialisme. Selain di Indonesia, perlawanan terhadap kolonial yang digerakkan kelompok tarekat juga terjadi di Afrika Utara ketika melawan kolonial Inggris dan Spanyol, juga di India.
Menurut penulis buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Prof. Azyumardi Azra, dua tarekat yang paling dikhawatirkan penjajah dari Belanda adalah Tarekat Qadariyah dan Tarekat Naqsabandiyah.
Kenapa bisa begitu? Peneliti sekaligus penulis Martin van Bruinessen mensinyalir, bahwa dalam pandangan para pejabat penjajah dari Belanda, Prancis, Italia dan Inggris, fanatisme penganut tarekat kepada guru mereka akan dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik.
Selain Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara juga berkembang Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Tarekat ini merupakan penggabungan antara keduanya, dipelopori oleh Syekh Ahmad Khatib sambasi yang berasal dari Kalimantan Barat.
Sejak abad ke-16, tarekat ini menyebar, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Bogor-Jawa Barat, Suryalaya-Tasikmalaya-Jawa Barat, Mranggen-Jawa Tengah, Rejoso-Jombang-Jawa Timur, dan Pesantren Tebuireng Jombang-Jawa Timur.