Melawan Muktazilah
Ketika zaman itu pemikiran Muktazilah yang rasional, ra’yu, yang didasari dari ilmu filsafat Yunani berkembang dominan memengaruhi tafsir Alquran dan kaidah fikih. Debat keagamaan pun berkembang makin ramai antargolongan yang berbeda aliran pemikiran di Baghdad dan kota lain yang banyak ulamanya.
Pemikiran ini juga dianut pemerintah mulai masa Khalifah al Makmun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq setelah zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid. Salah satu pemikiran yang jadi perdebatan adalah khalqiyatul Quran atau pandangan Alquran adalah makhluk.
Menurut pandangan ini, Allah itu bersifat absolut yang berbeda dengan sesuatu apa pun. Allah memiliki sifat kalam tetapi bicara, suara, dan bahasa Allah beda dengan manusia atau sesuatu apa pun. Alquran adalah kalam Allah yang telah diungkapkan dan dibahasakan menurut lisan Arab bukan bahasa Allah. Karena itu Alquran itu makhluk bukan kalam Allah itu sendiri.
Konsekuensi dengan pandangan ini maka Alquran itu bersifat relatif yang dipengaruhi oleh pemahaman Nabi Muhammad saat menerima kalam Allah kemudian menerjemahkan dalam bahasa Arab sesuai tradisi dan pengetahuan di mana Nabi hidup. Dengan demikian menurut kelompok ini Alquran tidak qadim, abadi, seperti Allah. Namun bisa berubah atau musnah seperti sifat makhluk.
Sementara paham ahlul hadis meyakini Alquran itu kalam Allah sendiri yang diturunkan dalam bahasa yang dipahami manusia. Seperti dikisahkan dalam Alquran, Allah berbicara kepada Nabi Musa (An-Nisa: 164, Al-A’raf: 143) atau bicara kepada Nabi Ibrahim (Ash-Shafat: 104-105)
Menurut pandangan ini, Alquran itu bersifat qadim, abadi, karena kalam Allah mengikuti sifat Allah yang mutlak. Tidak berubah, selalu terjaga oleh Allah, mengandung sepenuhnya maksud Allah, dan berlaku sepanjang zaman.