وَأَنْ لَا يَعْتَقِدَ بُطْلَانَهَا ) أَيْ بُطْلَانَ صَلَاةِ إِمَامِهِ …(كَحَنَفِيٍّ) أَوْ غَيْرِهِ اِقْتَدَى بِهِ شَافِعِيٌّ وَقَدْ (عَلِمَهُ تَرَكَ فَرْضًا) كَالْبَسْمَلَةِ مَا لَمْ يَكُنْ أَمِيْراً أَوِ الطُّمَأْنِيْنَةِ أَوْ أَخَلَّ بِشَرْطٍ كَأَنْ لَمِسَ زَوْجَتَهُ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ فَلَا يَصِحُّ اقْتِدَاءُ الشَّافِعِيِّ بِهِ حِيْنَئِذٍ اِعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِ الْمَأْمُوْمِ لِأَنَّهُ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ لَيْسَ فِيْ صَلَاةٍ
“Dan hendaklah makmum tidak meyakini batalnya sholat imam…. Seperti imam yang bermadzhab Hanafi yang diikuti oleh makmum bermadzhab Syafi’i, sementara makmum mengetahui imamnya meninggalkan kewajiban menurut keyakinan makmum seperti membaca basmalah atau thumaninah, selama imamnya bukan pemimpin. Atau makmum mengetahui imamnya meninggalkan syarat sah sholat seperti memegang istrinya dan langsung sholat tanpa berwudhu terlebih dahulu. Maka tidak sah salatnya makmum yang bermadzhab Syafi’i dalam masalah ini, karena mempertimbangkan keyakinan makmum, sebab ia meyakini bahwa imamnya tidak berada dalam sholat yang sah,” (Al-Minhaj al-Qawim, hlm. 150-151)
Namun menurut pendapat lain dari madzhab Syafi’i, sahnya keabsahan jamaah dititikberatkan pada keyakinan imamnya, meskipun menurut madzhab yang dianut makmum menghukumi tidak sah.
Misalkan dalam permasalahan imam yang tidak membaca basmalah karena ia bermadzhab Hanafi, sementara makmumnya bermadzhab Syafi’i yang meyakini kewajiban basmalah, maka sholatnya makmum tetap dinyatakan sah. Karena imam sudah benar sesuai madzhab yang dianutnya.