Sementara Zainab Zulfam, seorang pakar masalah anak, juga ikut menyambut kehadiran buku-buku Islami tersebut.
"Saya ingin anak perempuan saya tumbuh dan dinilai berdasarkan sifat-sifatnya, bukan karena agamanya. Apakah itu permintaan yang berlebihan? Saya ingin anak saya menjalani hidup karena pilihannya sendiri. Saya tidak ingin anak saya tidak malu sebagai Muslim," kata Zainab Zulfam.
Baca juga: Nikmat yang Kerap Membuat Manusia Tertipu
Noor Kids saat ini sudah sangat berkembang. Amin dan saudaranya mempekerjakan sejumlah penulis, penata artistik, dan beberapa staf pendukung lainnya. Mereka juga melebarkan sayap ke bisnis kemping online, dan berusaha membuat film animasi dan aplikasi komputer berbasis tokoh-tokoh dalam buku seri Noor Kids.
Amin dan Mohammed Aaser memiliki gelar kesarjanaan di bidang bisnis yang meyakinkan. Aaser lulusan Harvard University, sementara Amin meraih gelar MBA di University of California, Berkeley. Di balik keberhasilan mereka, Amin dan Aaser masih sulit melupakan pengalaman masa kecilnya.
Aaser saat berusia 16 tahun pernah bekerja di sebuah toko komputer. Setelah serangan teroris 11 September 2001, seorang pelanggan perempuan menghina namanya yang sangat terkesan Muslim dan menyatakan tidak ingin lagi datang ke toko itu karena ada Mohammed Aaser.
Amin ketia berumur 13 tahun, dan setelah serangan teroris 11 September, sering diolok-olok teman sekolahnya saat bulan Ramadhan karena menjalankan ibadah puasa. Ibunya yang mengenakan jilbab juga kerap menjadi sumber cemoohan teman-teman Amir.
Baca juga: Baca Doa Ini agar Terhindar dari Sifat Dengki
Amir dan Aaser tidak ingin pengalaman masa kecil mereka dialami keponakan dan anak-anak Muslim lainnya. Lewat buku-buku Noor Kids, yang kini ratusan ribu kopinya telah tersebar di berbagai penjuru dunia, mereka ingin anak-anak Muslim bangga dengan identitas mereka dan selalu mematuhi ajaran Islam.
(Hantoro)