Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Supermodel Hijab Pamit Mundur, Halima Aden: Mental Saya Tak Bahagia

Supermodel Hijab Pamit Mundur, Halima Aden: Mental Saya Tak Bahagia
Halimah Aden. (Foto: BBC)
A
A
A

Bagi Halima, hijab adalah dunianya.

"Banyak gadis yang bersedia mati untuk sebuah kontrak sebagai model," kata Halima, "tapi saya siap untuk meninggalkan [kontrak] bila [klausul] itu tak disetujui."

Saat itu, Halima Aden belum dikenal di dunia modeling - dia 'bukan siapa-siapa'.

Namun seiring berjalannya waktu, kuasa Halima dalam menentukan busana-busana yang dia pakai makin berkurang. Bahkan, ia setuju untuk menutupi rambutnya dengan cara yang tak sesuai dengan perjanjian awal.

"Saya akhirnya menyimpang dan masuk ke area abu-abu yang membingungkan karena membiarkan tim mengatur gaya jilbab saya."

Pada tahun terakhir kariernya, hijabnya semakin mengecil, terkadang menonjolkan leher dan dadanya. Dan, alih-alih jilbab, terkadang dia menutup rambutnya dengan jins, atau pakaian dan kain lain.

Klausul lain dari kontrak Halima adalah jaminan ruang khusus yang memungkinkan ia untuk berpakaian dalam privasinya sendiri.

Namun dengan cepat Halima menyadari, model berhijab lainnya, yang mengikuti Halima ke industri fashion, tidak diperlakukan dengan respek. Ia melihat model-model itu diminta untuk berganti busana di kamar mandi.

"Situasi itu membuat saya geram dan saya berpikir, 'Ya Tuhan, gadis-gadis ini mengikuti jejak saya, dan saya telah membuka pintu ke mulut singa.'"

Halima berharap penerusnya menjadi sederajat, dan hal ini memperkuat perasaannya untuk melindungi mereka.

"Banyak dari mereka masih sangat muda, ini bisa menjadi industri yang menyeramkan. Bahkan dalam pesta yang kami hadiri, saya selalu mendapati diri saya dalam peran sebagai kakak perempuan yang harus menggamit salah satu model berhijab karena ia dikelilingi oleh sekelompok pria yang mengikuti dan mengerumuninya.

"Saya merasa seperti, 'Kelihatannya ini tidak benar, ia masih anak-anak.' Saya akan menariknya keluar dan bertanya ia bersama siapa."

Sebagian dari rasa tanggung jawab ini berasal dari latar belakang Somalia yang dimiliki Halima. Sebagai anak dari kamp pengungsi Kakuma, di Kenya, Halima diajari ibunya untuk bekerja keras dan membantu sesama.

Didikan sang ibu itu berlanjut terus hingga mereka pindah ke Minnesota, AS, ketika Halima berusia tujuh tahun, dan menjadi bagian dari komunitas Somalia terbesar di AS.

Terjadi sebuah masalah ketika Halima menjadi murid perempuan berhijab pertama yang mendapat penghargaan sebagai murid terpopuler di SMA-nya. Halima mengerti ibunya, yang sangat berkonsentrasi pada nilai yang baik, akan tidak menyetujui hal tersebut.

"Saya sangat malu, karena ketika saya dinominasikan, teman-teman datang ke rumah dan saya bilang, 'Jangan datang- ibu saya menyiapkan sepatu dan kalian tidak akan tahu apa yang kalian hadapi!'"

Kekhawatirannya terbukti. Ibu Halima menghancurkan mahkota yang diperolehnya dan mengatakan, "Kamu terlalu fokus pada teman dan kontes kecantikan."

Namun Halima tetap mengikuti ajang Miss Minnesota USA pada 2016. Ia merupakan kontestan pertama yang mengenakan hijab dan menjadi semi finalis.

Sang ibu merasa kecewa ketika Halima memilih untuk mengejar karier di duna model - karier yang dianggap ibunya bertentangan dengan status yang melekat pada Halima: berkulit hitam, Muslim, pengungsi.

Bahkan ketika Halima mulai menapaki catwalk utama dunia untuk menjadi model Yeezy dan Max Mara, atau menjadi juri Miss USA, ibunya masih mendorong Halima untuk "mendapatkan pekerjaan yang layak".

Sisi kemanusiaan dalam karier Halima-lah yang berhasil meyakinkan ibunya bahwa karier modeling yang dijalaninya sepadan.

Sebagai seorang pengungsi yang telah berjalan 12 hari dari Somalia ke Kenya untuk kehidupan yang lebih baik, Halima tahu pentingnya membantu mereka yang membutuhkan.

"Dia berkata, 'Kamu tidak boleh menjadi model jika tidak memiliki sikap memberi bagi sesama'. Dalam pertemuan pertama saya dengan IMG, saya meminta mereka untuk membawa saya ke Unicef," kata Halima.

IMG mendukungnya dan pada 2018 Halima menjadi duta Unicef. Karena dia menghabiskan masa kecilnya di kamp pengungsian, ia berkonsentrasi pada hak-hak anak.

"Ibu saya tak pernah memandang saya sebagai model atau gadis sampul. Dia memandang saya sebagai secercah harapan bagi para gadis muda dan selalu mengingatkan saya untuk menjadi teladan bagi mereka."

Halima ingin meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak telantar, sekaligus ingin menunjukkan pada anak-anak itu bahwa kalau ia saja bisa keluar dari kamp pengungsian, mereka juga memiliki harapan yang sama.

Pada tahun 2018, tidak lama setelah menjadi duta Unicef, ia mengunjungi kamp Kakuma untuk menyampaikan pemikirannya dalam forum Ted Talk.

"Saya bertemu dengan anak-anak dan bertanya kepada mereka, 'Apakah semuanya masih dilakukan seperti yang sudah-sudah, apakah kalian masih harus menari dan bernyanyi di depan pendatang baru?' Mereka berkata, 'Ya, tapi kali ini kami tidak melakukannya untuk selebritas lain yang mereka bawa ke kamp, kali ini kami melakukannya untuk kamu.' "

Halima dilanda rasa bersalah dan kesal. Ia mengatakan ia masih ingat ketika dirinya dan anak-anak lain bernyanyi dan menari untuk para selebritas yang berkunjung.

Bagi Halima, organisasi tersebut seperti lebih fokus pada citra organisasi ketimbang pendidikan anak-anak.

"Saya dapat mengeja 'Unicef' bahkan sebelum saya dapat mengeja nama saya. Saya menuliskan nama saya dengan tanda X, kata Halima. "Minnesota yang memberikan buku pertama saya, pensil pertama saya, tas pertama saya. Bukan Unicef."

Halima memperkirakan semuanya telah berubah sejak ia pergi.

Pada November, dalam percakapan melalui video dengan anak-anak di Kakuma pada Hari Anak Internasional, Halima memutuskan ia tak dapat melanjutkannya. Rasanya sangat berat melihat anak-anak itu di tengah musim dingin, saat pandemi melanda dunia.

"Setelah bicara dengan anak-anak, saya membuat terobosan,"katanya.

"Saya memutuskan untuk berhenti bekerja sama dengan organisasi nirlaba internasional yang menggunakan 'kisah keberanian dan harapan saya yang indah'."

Unicef Amerika Serikat menyatakan pada BBC," Kami berterima kasih atas kolaborasi dan dukungan dari Halima selama tiga setengah tahun. Kisah ketangguhannya dan harapannya yang luar biasa telah memandu pandangannya terhadap dunia yang menjunjung hak-hak setiap anak.

"Bekerja dengan Halima merupakan kesempatan luar biasa bagi Unicef dan kami mendoakan yang terbaik untuk masa depannya."

Ketika permintaan di industri fashion untuk dirinya meningkat, Halima menghabiskan lebih sedikit waktu dengan keluarganya dan berada jauh dari rumah saat perayaan besar Islam.

"Pada tahun pertama dalam karier saya, saya bisa pulang untuk Idul Fitri dan Ramadhan tetapi dalam tiga tahun terakhir, saya tengah bepergian. Saya kadang-kadang melaukan enam hingga tujuh penerbangan seminggu. Tak ada jeda," kata Halima.

Pada September 2019, ia tampil di sampul majalah King Kong, mengenakan perona mata berwarna merah dan hijau cerah serta perhiasan besar di wajahnya. Riasannya menyerupai topeng dan menutupi segalanya kecuali hidung dan mulutnya.

"Gaya dan riasannya buruk sekali. Saya tampak seperti versi diri saya yang menjadi fetish pria kulit putih," katanya.

Dan yang membuatnya ngeri, Halima menemukan foto seorang pria telanjang dalam edisi yang sama.

"Bagaimana mungkin majalah tersebut berpikir menghadirkan perempuan Muslim yang mengenakan hijab dan pria telanjang di halaman berikutnya merupakan hal yang dapat diterima?" Halima mempertanyakan. Kejadian itu bertentangan dengan semua yang ia yakini.

Majalah King Kong mengatakan kepada BBC, "Para seniman, fotografer, dan kontributor yang bekerja sama dengan kami mengekspresikan diri mereka dengan cara yang mungkin dianggap menarik bagi sebagian orang dan tampak provokatif bagi orang lain, tetapi cerita yang mereka produksi selalu menghormati subyek dan modelnya.

"Kami mohon maaf bahwa Halima sekarang menyesali pekerjaan yang ia lakukan dengan kami, dan bahwa ada foto yang tidak ia sukai secara pribadi, tetapi ini sama sekali tidak terhubung dengan penampilannya."

Halima mengatakan bahwa ketika ia melihat fotonya pada sampul majalah di bandara, saat ia melakukan perjalanan di antara pemotretan, ia sering hampir tidak mengenali dirinya sendiri.

"Saya tak merasakan kegembiraan karena saya tidak dapat melihat diri saya sendiri. Tahukah betapa hal tersebut bisa merusak mental seseorang? Ketika saya seharusnya merasa bahagia dan bersyukur dan saya seharusnya merasa terhubung, karena itu diri saya, itu foto saya, tapi saya merasa sangat jauh.

"Karier saya tampak sukses, tapi secara mental saya tidak bahagia."

Dan ada masalah lain - aturan hijabnya semakin merenggang, dan cara perlakuan terhadap model lain yang berhijab.

Pandemi virus corona membuatnya bisa melihat dari perspektif berbeda. Lantaran Covid-19 menghentikan pemotretan mode dan peragaan busana, Halima pulang ke St Cloud untuk menghabiskan waktu bersama ibunya, yang sangat dekat dengannya.

"Saya merasa cemas memikirkan tahun 2021 karena saya senang tinggal di rumah bersama keluarga dan bertemu teman lagi," katanya.

Semua hal ini menjelaskan keputusan Halima pada November 2020, berhenti dari dunia model sekaligus mengakhiri perannya bersama Unicef.

"Saya bersyukur atas kesempatan yang diberikan Covid pada saya. Kita semua tentu kerap merenungi karier yang kita jalani dan bertanya,'Apakah ini membawa kita pada kebahagiaan yang sejati, apakah membawa kita pada kegembiraan?'"katanya.

Doa ibunda Halima akhirnya dikabulkan. Ia sangat gembira sehingga setuju untuk melakukan pemotretan dengan putrinya, hanya untuk bersenang-senang.

"Ketika saya masih menjadi model, ibu saya selalu menolak setiap permintaan foto, dia bahkan tidak melakukan pemotretan ibu-anak. Saya ingin memberinya kesempatan melihat saya dalam sisi kreatif saya," kata Halima dengan senang.

(Foto: Giliane Mansfeldt Photography)

 "Ibu benar-benar sumber inspirasi saya yang paling utama dan saya bersyukur Tuhan memilih saya untuk menjadi putrinya. Ibu adalah perempuan tangguh dan luar biasa."

Sesi foto bersama ibunya bukanlah satu-satunya yang membuat Halima senang. Ia baru saja menyelesaikan sebuah film yang terinspirasi dari kisah nyata seorang pengungsi yang melarikan diri dari perang dan kekerasan di Afghanistan.

Halima menjadi produser eksekutif film itu, yang berjudul I Am You. Film tersebut akan dirilis pada bulan Maret di Apple TV.

"Saya tak sabar menunggu untuk tahu apakah kami dinominasikan untuk Piala Oscar!" katanya. Berhenti berkolaborasi dengan Unicef tidak berarti Halima berhenti melakukan kerja-kerja sosial.

"Saya tak akan pernah berhenti menjadi relawan," katanya.

Baca Juga : 9 Jenis Ciput yang Perlu Diketahui, dari Konde hingga Anti Tembem

"Saya pikir dunia tidak membutuhkan saya sebagai model atau selebritas, dunia membutuhkan Halima dari Kakuma - seseorang yang mengerti makna sesungguhnya dari setiap sen dan makna sejati dari komunitas."

Namun ia akan jeda dahulu.

"Anda tahu, saya tak pernah benar-benar liburan. Saya menempatkan kesehatan mental dan keluarga saya sebagai prioritas. Saya bertumbuh, tidak hanya bertahan hidup. Saya memeriksakan kesehatan mental saya, saya mendapatkan waktu terapi."

Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran

(Rani Hardjanti)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement