Ketiga: para ulama telah menyebut hal ini dalam beberapa kitab mereka dan tidak disebutkan adanya larangan, semisal ucapan Imam Syafi’i rahimahullah:
لم يوجب ذلك غسلاً ، ولا نوجب الغُسل إلا أن يغيبه فى الفرج نفسه ، أو الدبر . فأما الفم ، أو غير ذلك من جسدها فلا يوجب غسلاً إذا لم ينزل
“Kami tidak mewajibkan mandi janabah (mandi wajib) kecuali apabila ia memasukkan dzakarnya ke kemaluan istrinya atau duburnya. Adapun mulut (istrinya) dan bagian tubuh istrinya yang lainnya, maka tidak mewajibkan mandi janabah, jika tidak mengeluarkan air mani.” (Al-Umm, 2: 81)
Keempat: sebagian ulama ada yang membolehkan mencium kemaluan istri, yaitu menghisap biji kemaluan wanita. Demikian juga dengan istri, maka boleh sebaliknya.
Seorang ulama mazhab Syafi’i, yaitu Al-Maliaariy Al-Fananiy rahimahullah berkata:
يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها
“Boleh bagi seorang suami menikmati istrinya dengan berbagai cara kecuali lingkaran duburnya, bahkan (boleh menikmati istrinya) meskipun mengisap kiltorisnya.” (Fathul Mu’in bi Syarh Qurratil ‘Ain, hal. 482)
Kelima: sebagian ulama membolehkan menghisap dan mencium apabila sebelum mulai jimak, karena belum keluar madzi dan belum bercampur dengan cairan farji. Boleh dilakukan dengan cara membersihkan dahulu dari madzi yang keluar.