Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Mengenal Maulid Nabi: Sejarah, Asal-usul Penamaan, hingga Hukumnya

Tim Okezone , Jurnalis-Senin, 18 September 2023 |16:47 WIB
Mengenal Maulid Nabi: Sejarah, Asal-usul Penamaan, hingga Hukumnya
Ilustrasi maulid Nabi 2023. (Foto: Pixabay)
A
A
A

DAI muda Ustadz Ady Kurniawan Al Asyrofi mengatakan kini kaum Muslimin telah memasuki bulan Rabiul Awal. Ini merupakan bulan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam atau akrab dikenal Maulid Nabi.

Banyak sekali istilah Maulud, Maulid, atau Milad. Maka bila ditelusuri dalam kitab Mu’jam Al-Lughah Al-‘Arabiyyah Al-Mu’ashirah karya Dr Ahmad Mukhtar Abdul Humaid Omar; ketiga istilah itu berasal dari kata walada (wawu, lam, dan dal). Dari tiga huruf inilah nantinya akan terbentuk kata Maulid, Maulud, dan Milad.

"Kata Maulid merupakan bentuk Mashdar Mim dari Fi’il Madhi (walada) yang berarti kelahiran. Maulid juga merupakan isim zaman (waktu) dan isim makan (tempat). Jadi, Maulid bisa diartikan sebagai waktu kelahiran/tempat kelahiran," jelas Ustadz Ady dalam keterangannya kepada Okezone, Senin (18/9/2023).

Ia menerangkan, kata Maulud merupakan bentuk Isim Maf’ul dari Fi’il Madhi (walada) yang berarti sesuatu/orang yang dilahirkan. Jadi kata Maulid memiliki arti waktu kelahiran atau tempat kelahiran. Sedangkan Maulud memiliki makna orang yang dilahirkan.

Masyarakat Indonesia khususnya maupun di negara-negara yang mayoritas Islam menggunakan kata Maulid untuk pengertian yang menunjukkan arti hari lahir Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam, dalam hal ini sudah tepat dan tidak bertentangan secara kaidah bahasa Arab.

"Berkaitan dengan Milad, banyak sekali Muslim yang mengucapkan ulang tahun dengan sebutan Milad. Kata Milad memiliki arti waktu kelahiran seseorang. Umat Kristiani dari bangsa Arab juga sering menggunakan kata Milad untuk hal-hal yang berkaitan dengan perayaan Natal," terang Ustadz Ady.

"Seperti contoh kata Iedul Milad yang berarti Hari Raya Natal atau Lailatul Milad yang berarti malam Natal, ada juga Syajaratul Milad yakni pohon Natal," imbuhnya.

Dia mengungkapkan, ada juga kebiasaan orang Arab dalam menyebut tahun-tahun sebelum Masehi dengan sebutan Qobla Milad, dan tahun-tahun setelah Masehi dengan sebutan Ba'da Milad. Kata Milad menjadi kontroversi di beberapa organisasi Islam di Indonesia, mungkin karena penggunaan istilah Milad sudah melekat dan seakan telah menjadi identitas ummat kristiani maka ummat Islam menghindari penggunaan kata tersebut.

Ada baiknya juga untuk menghindari Tasyabbuh (menyerupai orang kafir), jadi untuk memperingati hari ulang tahun seseorang, lebih tepat menggunakan kata "Selamat Ulang Tahun" disertai dengan doa.

Ustadz Ady memaparkan, dewasa ini memperingati Maulid Nabi banyak kontroversi di masyarakat tentang kebid'ahan perayaan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam. Hal ini disebabkan oleh sekelompok orang yang mengaku ingin memurnikan tauhid, datang membid'ahkan serta menyesatkan perayaan Maulid.

"Padahal panutan mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya yang berjudul Iqtidha' Shirathil Mustaqim karya Ibnu Taymiyyah, 2/126, Penerbit 'Alam Al-Kutub Lebanon, cetakan ketujuh 1999 M. Beliau Ibnu Taimiyah secara gamblang menuturkan bahwa orang yang mengagungkan hari kelahiran atau maulid Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam dan menjadikannya sebagai kegiatan rutinan atau tahunan akan mendapatkan pahala yang banyak karena niat baiknya tersebut," katanya.

Dalam kitab Husnul Maqshid fi ‘Amalil Maulid, halaman 41, Imam Suyuthi, Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cetakan Pertama, 1985 M, Imam Suyuthi, seorang ulama bermadzhab Syafi’i Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, mengakui bahwa perayaan Maulid Nabi yang meliputi beberapa acara di antaranya adalah pembacaan ayat-ayat suci Alquran, periwayatan hadits-hadits dan atsar yang berkaitan dengan hal ihwal Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam.

Kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama tanpa adanya kegiatan yang mengandung dosa adalah Bid'ah Hasanah yang menjadikan penyelenggaranya mendapatkan pahala yang agung karena ia menyelenggarakan acara tersebut yang di dalam hatinya memiliki rasa penghormatan, cinta dan bahagia akan kelahiran Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam. 

Sejarah Peringatan Maulid Nabi 

Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh Raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, pada awal abad ke-7 Hijriah. Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tarikh, berkata:

"Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awal. Dia merayakannya secara besar-besaran. Dia adalah seorang yang berani, pahlawan, alim dan seorang yang adil."

Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn Al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut, Sultan Al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama dalam bidang ilmu Fiqh, ulama Hadits, ulama dalam bidang ilmu kalam, ulama usul, para ahli tasawuf, dan lainnya.

Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan Maulid Nabi, dia telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan Al-Muzhaffar. Mereka semua berpandangan dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu.

Para ulama, semenjak zaman Sultan Al-Muzhaffar dan zaman setelahnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan Maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Para ulama terkemuka dan Huffazh Al-Hadis telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti:

1. Al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H)

2. Al-Hafizh Al-Iraqi (w. 806 H)

3. Al-Hafizh As-Suyuthi (w. 911 H)

4. Al-Hafizh Al-Sakhawi (w. 902 H)

5. SyeIkh Ibn Hajar Al-Haitami (w. 974 H)

6. Al-Imam Al-Nawawi (w. 676 H)

7. Al-Imam Al-Izz ibn Abd Al-Salam (w. 660 H)

8. mantan mufti Mesir yaitu Syeikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i (w. 1354 H)

9. mantan Mufti Beirut Lubnan (Lebanon) yaitu Syeikh Mushthafa Naja (w. 1351 H), dan terdapat banyak lagi para ulama besar lainnya 

Bahkan, Al-Imam Al-Suyuthi menulis karya khusus tentang Maulid yang berjudul “Husn Al-Maqsid Fi Amal Al-Maulid”. Karena itu perayaan Maulid Nabi, yang biasa dirayakan pada bulan Rabiul Awal menjadi tradisi umat Islam di seluruh dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.

Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn Al-Jauzi, Ibn Kathir, Al-Hafizh Al-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan Al-Muzhaffar.

Namun juga terdapat pihak lain yang mengatakan bahwa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi. Sultan Salahuddin pada kala itu membuat perayaan Maulid dengan tujuan membangkitkan semangat umat islam yang telah padam untuk kembali berjihad dalam membela islam pada masa Perang Salib.

"Sahabat yang dirahmati Allah, Sambutlah bulan Maulid dengan penuh kegembiraan. Di antaranya kita melakukan perbuatan-perbuatan yang disukai Nabi seperti perbanyak bersholawat, puasa sunnah Senin yang mana hari Senin adalah hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam serta lakukan amalan sunnah lainnya. Insya Allah kita semua mendapatkan syafaat dari Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam," imbau Ustadz Ady.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat bersholawat kepada Nabi. Wahai orang yang beriman, bersholawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkan salam penghormatan kepadanya." (QS Al Azhab: 56)

Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam bersabda: "Siapa saja yang bersholawat kepadaku sekali, niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali." (HR Muslim)

Wallahu a'lam bisshawab

(Hantoro)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement