Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Hukum Beli Emas secara Kredit, Benarkah Dilarang dalam Islam?

Hantoro , Jurnalis-Jum'at, 19 Juli 2024 |10:30 WIB
Hukum Beli Emas secara Kredit, Benarkah Dilarang dalam Islam?
Ilustrasi hukum jual beli emas secara kredit menurut Islam. (Foto: Shutterstock)
A
A
A

Kedua, bila barter dilakukan antara dua barang yang berbeda jenis, misalnya emas dijual dengan uang kertas, uang rupiah Indonesia dengan dolar Amerika Serikat, maka boleh untuk melebihkan salah satu barang dalam hal jumlah, akan tetapi pembayaran/penyerah-terimaan barang tetap harus dilakukan dengan cara kontan, tanpa ada yang terutang sedikit pun.

Hal itu berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam:

الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد رواه مسلم

"Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya'ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya'ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, sama dengan sama dan (dibayar dengan) kontan. Bila macam/jenis barang berbeda, maka silakan engkau membarterkannya dengan cara sesuka hatimu, bila hal itu dilakukan dengan cara kontan." (HR Muslim)

"Bila barang yang diperjualbelikan adalah selain emas, perak, dan mata uang (valas); maka ada satu hal yang harus diperhatikan, yaitu tidak menjual kembali barang yang telah kita beli sebelum barang tersebut kita pindahkan dari tempat penjual," tegas Ustadz Ammi Nur Baits.

Ia menerangkan, ketentuan ini bertujuan untuk menghindari atau mencegah terjadinya praktik akal-akalan dalam melanggar hukum-hukum riba. Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه

"Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya." Ibnu 'Abbas berkata: Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan." (Muttafaqun 'alaih)

Pendapat Ibnu 'Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit radliyallaahu 'anhu berikut:

عن ابن عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا حسنا،

فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت فإذا زيد بن ثابت فقال: لا تبعه حيث

ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى. رواه أبو داود والحاكم

"Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat aku membeli minyak di pasar, dan ketika aku telah selesai membelinya, ada seorang laki-laki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka aku pun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing." (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)

Para ulama' menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya adalah karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air, dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut. Dan sudah barang tentu kejadian ini sangat merugikan pihak pembeli kedua.

Hikmah kedua, seperti dinyatakan Ibnu 'Abbas radliyallaahu 'anhu ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:

قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ

"Aku bertanya kepada Ibnu 'Abbas: Bagaimana kok demikian? Ia menjawab: Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu 'Abbas di atas dengan berkata: "Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya– dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (mengutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekuensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya, pen)." (Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 4/348–349)

"Dengan demikian, Anda tidak dibenarkan menjual kembali barang yang telah Anda beli tersebut, sebelum Anda mengeluarkan atau membawa pergi barang tersebut dari tempat penjual. Adapun masalah pembayaran Anda yang belum lunas kepada penjual pertama, maka itu tidak menjadi masalah atau penghalang bagi Anda untuk menjual kembali barang itu, selama Anda telah membawa pergi barang itu dari tempat penjual. Wallahu a'alam bisshawab," pungkas Ustadz Ammi Nur Baits. 

(Hantoro)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement