Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Ketentuan Istri Gugat Cerai Suami, Simak Penjelasannya

Erha Aprili Ramadhoni , Jurnalis-Kamis, 30 Oktober 2025 |20:11 WIB
Ketentuan Istri Gugat Cerai Suami, Simak Penjelasannya
Ketentuan Istri Gugat Cerai Suami, Simak Penjelasannya (Ilustrasi/Freepik)
A
A
A

4. Istri melaporkan kepada hakim terkait pertikaian ataupun bahaya yang dialami oleh istri dari perbuatan suaminya. Menurut ulama mazhab Syafi’I, hakim harus menasihati suami agar merubah sikapnya kepada istri dan hakim juga berhak menghukum (takzir) suami seandainya ia tidak merubah sikapnya terhadap istri. Seandainya perselisihan diantara suami dan istri bertambah parah, maka hakim dapat mengangkat satu perwakilan dari pihak suami dan satu perwakilan dari pihak istri untuk memusyawarahkan permasalahan keduanya atas izin suami dan istri. 

Konsepnya adalah suami mewakilkan kewenangan menjatuhkan talak dan menerima khulu’ kepada perwakilan dari keluarganya, sedangkan istri mewakilkan kewenangan mengajukan khulu’ kepada perwakilan dari keluarganya. Maka, kesepakatan perwakilan dari suami dan istri berhak memberikan keputusan talak, khulu', maupun tetap melanjutkan pernikahan suami dan istri tersebut. (Asy-Syirbini Muhammad bin Ahmad, Mughni Muhtaj ila Ma’rifati Alfadz Minhaj, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1994 M], juz IV, halaman 429). 

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

 وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلحا يفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا 

Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya (suami dan istri), maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai tersebut) bermaksud mengadakan perdamaian, niscaya Allah memberi petunjuk kepada keduanya (suami dan istri). Sungguh Allah Maha Mengetahui Maha Teliti,” (Qs An-Nisa’ ayat 35). 

Di Indonesia, penerapan Pasal 39 UU No 1/1974 jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang berbunyi “Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” adalah sesuai dengan pendapat mazhab Maliki. Akan tetapi hal ini, setelah hakim memberikan nasihat dan bimbingan kepada suami agar tidak menyakiti istrinya. Apabila suami tetap menyakiti istrinya, maka hakim berhak menceraikan istri dari suaminya.

 وقيل لا تطلق نفسها إلا بعد الرفع للحاكم فإن الحاكم يزجره ابتداء بما يقتضيه اجتهاده من توبيخ أو سجن أو غيره فإن عاد لمضارتها قضي عليه بالطلاق 

Artinya: “Dan dikatakan bahwa perempuan tidak boleh menceraikan dirinya sendiri sebelum melaporkan kepada hakim karena hakim wajib memperingatkannya (suami) dengan keputusan yang sesuai dengan ijtihadnya seperti mencela (kejahatan), memenjarakannya (suami), dan sejenis. Apabila dia (suami) mengulangi perbuatan menyakitinya (istri) maka hakim berhak memutuskan cerai kepadanya (suami),” (Asy-Syinqiti Muhammad bin Ahmad, Lawami’ud Durar fi Hatki Astaril Mukhtashar, [Beirut: Dar Ridhwan, 2015 M], juz VI, halaman 644).


Simpulan di sini adalah syariat islam sangat menjaga agar sebisa mungkin tidak terjadi perceraian diantara suami dan istri. Akan tetapi, istri juga memiliki hak untuk melindungi dirinya dari kekerasan ataupun sifat buruk dari suaminya dengan mengajukan perceraian.


Wallahualam 

(Erha Aprili Ramadhoni)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement