Dalam Munas Alim Ulama yang diselenggarakan di NTB pada 1997, Nahdlatul Ulama merumuskan suatu kesimpulan bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dan memiliki hak yang sama dalam hal penghambaan kepada Allah SWT. Hal ini didasarkan pada berbagai ayat Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai perolehan ganjaran bagi mereka yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam An-Nahl misalnya, Allah SWT berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: "Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan." (QS An-Nahl: 97).
Selain itu, forum Munas tersebut juga mengafirmasi kesetaraan hak yang dimiliki laki-laki dan perempuan di ruang publik. Sebagai bagian dari masyarakat, peran perempuan dalam ikut serta membangun serta menyejahterakan kehidupan sosial tidak dapat dipandang sebelah mata. Meski secara kodrat mereka memiliki tugas khusus seperti mengandung, melahirkan, dan merawat anak sebagai penerus generasi masa depan, tidak dapat dipungkiri bahwa di luar sana banyak peran-peran nonkodrati yang harus dipikul bersama dan dilaksanakan dengan saling mendukung satu sama lain antara laki-laki dan perempuan.
Terkait hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
Artinya: "Sesungguhnya perempuan itu bagaikan saudara kandung laki-laki." (HR. At-Tirmidzi).
Dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda:
النَّاسُ سَوَاءٌ كَأَسْنَانِ الْمُشْطِ
Artinya: "Manusia itu posisinya sama dan setara bagaikan gigi-gigi sisir." (HR. Al-Asbihani).