Akan tetapi di zaman yang sudah mengglobal ini batasan antara ahlil kitab dan yang bukan ahlil perlu ditegaskan kembali. Karena kecenderungan bertasahul atau menggampangkan segala urusan di zaman globalisasi ini dianggap sebagai kewajaran. Hal ini cukup menghawatirkan apalagi jika berhubungan dengan masalah pernikahan. Karena panjangnya konsekwensi dari sebuah pernikahan mulai dari status pernikahan, status anak dan hak waris.
Dalam konteks ini maka hal yang perlu ditegaskan adalah siapakah perempuan merdeka ahlul kitab yang boleh dinikah oleh seorang muslim? tentang hal ini Imam Syafii dalam Al-Umm juz V menjelaskan:
أخبرنا عبد المجيد عن ابن جريج قال: عطاء ليس نصارى العرب بأهل كتاب انما أهل الكتاب بنوا اسرائيل والذين جأتهم التوراة والانجيل فامامن دخل فيهم من الناس فليسوا منهم
"Abdul Majid dari Juraid menerangkan kepada kami bahwa Atha’ pernah berkata bahwa orang-orang Nasrani dari orang Arab bukanlah tergolong ahlil kitab. Karena yang termasuk ahlil kitab adalah Bani Israi dan mereka yang kedatangan Taurat dan Injil, adapun mereka yang baru masuk ke agama tersebut, tidak dapat digolongkan sebagai Ahlil kitab."
Dengan demikian, orang-orang Indonesia yang beragama lain sepert Kristen, Hindu, Budha, Kepercayaan, dan lain sebagainya tidak bisa digolongkan ke dalam ahlul kitab sebagaimana dimaksudkan dengan al-Qur’an. Apalagi jika ada perubahan dalam kitab-kitab mereka seperti yang diturunkan kepada Musa as dan Isa as.
(Abu Sahma Pane)