SUP kelelawar yang diperjualbelikan di China diduga sebagai salah satu sumber virus korona. Laman thesun.co.uk melaporkan pada 23 Januari 2020, menu ini ditengarai menyebarkan virus tersebut kepada orang yang memakannya.
Lalu, bagaimanakah pandangan Islam terkait hukum memakan kelelawar, termasuk sup kelelawar yang kerap disantap warga di Wuhan, China?
Dalam ulasannya yang dikutip dari NU Online pada Senin (27/1/2020), Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung yang jugaDosen IAIN Tulungagung, menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat terkait hal itu.
Pertama, mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali, dan sebagian ulama mazhab Hanafi menegaskan bahwa kelelawar haram dimakan. Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menuturkan:
عِنْدَنَا يُؤْكَلُ الْخُطَّافُ وَالْبُومُ، وَيُكْرَهُ الصُّرَدُ وَالْهُدْهُدُ، وَفِي الْخُفَّاشِ اخْتِلَافٌ.
“Menurut mazhab kami, diperbolehkan memakan burung layang-layang dan burung hantu, dimakruhkan memakan burung shurad dan burung hud-hud. Sedangkan, hukum memakan kelelawar diperdebatkan.” (Muhammad Amin bin Abidin, Raddul Muhtar ala Ad-Durril Mukhtar, juz 26, h. 188).
Tidak jauh berbeda dari Syekh Ibnu Abidin, salah satu ikon mazhab Syafi’i bernama imam An-Nawawi juga menyebutkan:
وَالْخُفَّاشُ حَرَامٌ قَطْعًا، قَالَ الرَّافِعِي: وَقَدْ يَجِيْءُ فِيْهِ الْخِلَافُ
“Dan kelelawar diharamkan secara pasti. Imam Rafi’i berkata: Dan kadang-kadang ada perbedaan pendapat terkait hukum kelelawar.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 9, h. 22).
Hal senada diungkap dalam kitab mazhab Syafi’i yang lain, Hasyiyata Qalyubi wa Umairah sebagai berikut:
وَيُطْلَقُ الْخُطَّافُ عَلَى الْخُفَّاشِ وَهُوَ الْوَطْوَاطُ وَهُوَ حَرَامٌ أَيْضًا
“Dan dikatakan al-khuthaf untuk jenis binatang kelelawar, yaitu al-wathwhat, yang mana hukumnya juga haram” (Qalyubi dan Umairah, Hasyiyata Qalyubi wa Umairah, juz 4, halaman 261).
Adapun pendapat mazhab Hanbali tentang kelelawar disampaikan oleh tokoh fenomenal mereka bernama Ibnu Qudamah, yaitu:
وَيُحْرَمُ الْخُطَّافُ وَالْخُشَّافُ وَالْخُفَّاشُ وَهُوَ الْوَطْوَاطُ وَإِنَّمَا حُرِّمَتْ هَذِهِ لِأَنَّهَا مُسْتَخْبَثَةٌ
"Dan diharamkan memakan al-khuthaf, al-khussyaf, dan al-khuffash, yaitu kelelawar. Binatang-binatang ini diharamkan karena menjijikkan" (Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 11, h. 66).
Kedua, ulama mazhab Maliki menyatakan, kelelawar hukumnya makruh dimakan. Syekh Muhammad as-Shawi menuturkan:
(وَالْمَكْرُوهُ: الْوَطْوَاطُ) بِفَتْحِ الْوَاوِ وَهُوَ الْخُفَّاشُ
"Termasuk makanan yang makruh dimakan adalah al-watwat, dengan memberikan harakat fathah pada huruf wawu-nya, yaitu kelelawar" (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyatu as-Shawi Ala asy-Syarhi ash-Shaghir, juz 4, h. 150).
Ketiga, sebagian ulama mazhab Hanafi yang lain menyatakan, kelelawar boleh dimakan. Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menuturkan:
عِنْدَنَا يُؤْكَلُ الْخُطَّافُ وَالْبُومُ، وَيُكْرَهُ الصُّرَدُ وَالْهُدْهُدُ، وَفِي الْخُفَّاشِ اخْتِلَافٌ.
"Menurut mazhab kami, diperbolehkan memakan burung layang-layang (alap-alap) dan burung hantu, dimakruhkan memakan burung shurad dan burung hud-hud. Sedangkan, hukum memakan kelelawar diperdebatkan (ada yang mengharamkan, dan ada yang membolehkan)" (Muhammad Amin bin Abidin, Raddul Muhtar ala Ad-Durril Mukhtar, juz 26, h. 188).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum memakan kelelawar, termasuk sup kelelawar. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali, dan sebagian ulama mazhab Hanafi mengharamkannya. Ulama mazhab Maliki menghukuminya makruh. Sedangkan sebagian ulama mazhab Hanafi yang lain membolehkannya.
Dari ketiga pendapat tersebut tampaknya pendapat yang mengharamkan kelelawar merupakan pendapat yang kuat, karena kelelawar merupakan binatang yang tidak wajar dimakan dan dianggap menjijikkan.
Allah subhanahu wata’ala menegaskan keharaman sesuatu yang menjijikkan, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-A’raf ayat 157:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
"Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk" (QS Al-A’raf: 157).
Selain itu, kelelawar merupakan binatang yang haram dibunuh, maka haram pula dimakan, sebab tidak mungkin memakan kelelawar tanpa membunuhnya.
Abdullah ibn Amr radhiyallahu anhu meriwayatkan sebuah hadits berbunyi:
لَا تَقْتُلُوا الضَّفَادِعَ فَإِنَّ نَقِيقَهَا تَسْبِيحٌ، وَلَا تَقْتُلُوا الْخُفَّاشَ فَإِنَّهُ لَمَّا خَرِبَ بَيْتُ الْمَقْدِسِ قَالَ: يَا رَبِّ سَلِّطْنِي عَلَى الْبَحْرِ حَتَّى أُغْرِقَهُمْ
"Janganlah kalian membunuh katak. Sesungguhnya kicauannya adalah tasbih. Dan janganlah kalian membunuh kelelawar. Sebab, ketika Baitul Maqdis dibakar, kelelawar itu berdoa kepada Allah ‘Ya Tuhan kami, kuasakan kami atas lautan sehingga aku bisa menenggelamkan mereka" (HR. Baihaqi).
Hanya saja, jika keadaan darurat memaksa seseorang untuk memakan kelelawar, seperti untuk mengobati penyakit, maka diperbolehkan memakannya menurut mazhab Syafi’i, selama tidak ada obat lain yang dapat menggantikannya.
Hal itu karena kemaslahatan sehat dan selamat lebih didahulukan dibanding kemaslahatan menjauhi hal-hal najis. (Izzuddin bin Abdissalam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 1, h. 146). Wallahu A’lam.
Demikian ditulis Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung, sebagaimana dikutip dari NU Online pada Senin (27/1/2020).
(Abu Sahma Pane)