Kiai Wahid Hasyim dan Perannya di Balik Kemerdekaan Indonesia

Riyadi Akmal, Jurnalis
Senin 17 Agustus 2020 11:06 WIB
KH Abdul Wahid Hasyim (Foto: Wikipedia)
Share :

Pada tahun 1932, ketika menginjak usia 18 tahun, beliau dikirim ke Makkah, di samping untuk menunaikan rukun Islam kelima yakni berhaji, beliau juga ingin mendalami berbagai cabang ilmu agama. Kepergiannya ke Makkah ditemani saudara sepupunya Kiai Muhammad Ilyas yang kelak menjadi Menteri Agama.

Kiai Muhammad Ilyas memiliki jasa yang besar dalam membimbing Wahid Hasyim sehingga tumbuh menjadi remaja cerdas. Kiai Ilyas dikenal fasih berbahasa Arab, dan dialah yang mengajari Wahid Hasyim.

Di Tanah Suci, beliau belajar selama dua tahun. Dengan pengalaman pendidikan tersebut, tampaknya beliau merupakan sosok yang memiliki bakat intelektual yang baik.

Beliau menguasai tiga bahasa asing, yaitu bahasa Arab, Inggris, dan Belanda. Dengan bekal kemampuan tiga bahasa tersebut, Kiai Wahid Hasyim dapat mempelajari berbagai buku. Belajar otodidak yang dilakukannya memberikan pengaruh yang signifikan bagi praktik dan kiprahnya dalam pendidikan serta pengajaran, khususnya di pondok pesantren, termasuk juga dalam politik.

Kiprah politik

Di usia 24 tahun (1938), KH Wahid Hasyim mulai terjun ke dunia politik. Bersama kawan-kawannya, beliau gencar dalam memberikan pendidikan politik, pembaruan pemikiran dan pengarahan tentang perlunya melawan penjajah.

Baginya pembaruan hanya mungkin efektif apabila bangsa Indonesia terbebas dari penjajah. Menikah pada usia 25 tahun, Kiai Wahid Hasyim mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun.

Aktif Berorganisasi pada bulan April 1934, sepulang dari Makkah, banyak permintaan dari kawan-kawannya agar KH Wahid Hasyim aktif di himpunan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU).

Pada tahun-tahun itu di Indonesia banyak berkembang perkumpulan atau organisasi pergerakan. Baik yang bercorak keagamaan maupun nasionalis. Setiap perkumpulan berusaha memperkuat basis organisasinya dengan merekrut sebanyak mungkin anggota dari tokoh-tokoh berpengaruh. Wajar saja jika kedatangan Kiai Wahid Hasyim ke Tanah Air disambut penuh antusias oleh para pemimpin perhimpunan dan diajak bergabung.

Ternyata tidak satu pun tawaran itu yang diterima, termasuk dari NU. Apa yang terjadi dalam pergulatan pemikiran Kiai Wahid Hasyim sehingga tidak secara cepat menentukan pilihan bergabung di dalam satu perkumpulan? Saat itu memang ada dua alternatif di benaknya.

Kemungkinan pertama, beliau menerima tawaran dan masuk dalam salah satu perkumpulan atau partai yang ada. Kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau partai sendiri. Di mata Kiai Wahid Hasyim perhimpunan atau partai yang berkembang waktu itu tidak ada yang memuaskan.

Pada 1936 beliau mendirikan Ikatan Pelajar Islam (IKPI). Pendirian organisasi ini bertujuan mengorganisir para pemuda yang secara langsung beliau sendiri menjadi pemimpinnya. Usaha ikatan ini antara lain mendirikan taman baca. Pada tahun 1938 Kiai Wahid Hasyim banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan-kegiatan NU.

Ia ditunjuk sebagai Sekretaris pengurus Ranting Tebuireng, lalu menjadi anggota pengurus Cabang Jombang. Kemudian untuk selanjutnya KiaiWahid Hasyim dipilih sebagai anggota Pengurus Besar NU di wilayah Surabaya. Dari sini kariernya terus meningkat sampai hingga tahun 1938.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya