Suara Khas Nourin Mohamed Siddiq Membaca Al-Qur'an Bergaya Afrika Banyak Dirindukan

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Rabu 10 Februari 2021 14:39 WIB
Nourin Mohamed Siddiq. (Foto: Naqa Studio/BBC Indonesia)
Share :

Beda Tempat, Beda Pendekatan

Ada kompetisi pembacaan Quran dalam tingkat nasional ataupun internasional. Namun, ada banyak pendekatan dalam membaca Quran.

Pendekatan-pendekatan itu mungkin berbeda dalam nada dan artikulasi sesuai dengan kondisi geografis, kultural, dan historis dalam dunia Muslim, melampaui pusatnya di Timur Tengah.

Tilawah oleh Siddiq dan kepergiannya yang begitu cepat menyebabkan banyak yang memberikan perhatian lebih besar pada gaya Afrika tradisional.

Siddiq belajar tilawah di suatu sekolah pengajian di tempat tinggalnya, desa Al-Farajab, di sebelah barat ibu kota Sudan, Khartoum, pada pertengahan 1990-an.

Baca Juga: Menutup Aurat untuk Perempuan Saat Sholat, Apa Batasannya?

Saat pindah ke Khartoum, dia memimpin salat di sejumlah masjid utama Ibu Kota dan menarik perhatian banyak orang. Ketenarannya menyebar begitu video-videonya diunggah ke YouTube.

Meski pelafalan berskala heptatonik atau tujuh nada populer di Timur Tengah, lantunan dari Siddiq yang berbasis skala pentatonik atau lima nada lazim dipakai di kawasan-kawasan yang mayoritasnya umat Muslim seperti Sahel dan Tanduk Afrika.

"Ini adalah nada dari lingkungan saya dibesarkan, gurun pasir. Kedengarannya seperti [genre musik rakyat Sudan] dobeit," kata Al-Zain Muhammad Ahmad, sesama qari kondang asal Sudan.

"Para qari di wilayah Syam membacakan menurut melodi yang mereka kenal, seperti yang di Mesir, Hijaz, Afrika Utara, dan tempat-tempat lain."

Pandangan ini didukung kalangan ahli musik seperti Michael Frishkoph, profesor musik di University of Alberta di Kanada.

Walau berhati-hati menyangkut penggabungan Afrika sub-Sahara menjadi satu tradisi sonik, dia memastikan bahwa skala pentatonik banyak dipakai di kawasan itu.

"Secara umum, Anda tidak akan menemukan pelafalan pentatonik atau hexatonik [enam nada] di Mesir, sedangkan Anda malah menemukannya di Niger, Sudan, Ghana dan Gambia."

Imam Omar Jabbie dari Olympia, negara bagian Washington, AS, merupakan lulusan Universitas Islam terkemuka di Madinah, Arab Saudi. Dia lahir di Sierra Leone dan pertama kali mengaji Alquran dengan para guru di Senegal dan Ghambia."Itulah di mana saya belajar banyak nada mengaji," jelasnya.

Dalam beberapa dekade terakhir, gaya mengaji ala Timur Tengah mulai mendominasi banyak wilayah di Afrika dan seluruh dunia, terutama di perkotaan.

Para pendengar memiliki akses rekamannya lewat piringan hitam, siaran radio gelombang pendek, tape kaset audio, dan lempengan CD, yang diproduksi dan didistribusikan atau dijual oleh organisasi yang sebagian besar dari Mesir dan Arab Saudi.

Para pelajar yang kembali dari Universitas Al-Azhar Mesir dan Universitas Islam di Madinah, dan berkat lembaga-lembaga amal yang didanai negara-negara Teluk, juga berperan menyebarkan dan mempopulerkan gaya Timur Tengah ini di antara kalangan pembaca Quran dunia, termasuk mereka yang dari Afrika sub-Sahara, bahkan ada beberapa yang unggul dengan pendekatan ini.

Ada beberapa yang melihat lalu menyebarkannya, sebagai sesuatu yang lebih otentik, yang terkadang mengorbankan tradisi lokal.

Namun internet dan, terutama, media sosial telah membawa perhatian baru, terutama dari generasi muda, terhadap suara-suara tradisional.

"Kekuatan-kekuatan demokratisasi media sosial dan teknologi modern telah membawa efek yang bagus bagi kekuatan-kekuatan bersejarah itu," kata Profesor Mbaye Lo, yang meneliti ilmu sosiologi Islam.

Pandangan ini ditegaskan oleh Elebead Elshaifa, Naqa Studio, perusahaan produksi media berbasis di Khartoum yang berdiri pada 2016.

"Media sosial tidak perlu persyararatan seperti stasiun televisi satelit," ujarnya, merujuk pada biaya yang lebih rendah dan pembatasan hukum yang lebih sedikit.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya