Ada satu hal yang membuat hati Yundarini terenyuh. Ada beberapa jamaah yang meminta nama dirinya untuk kemudian didoakan setiap hari.
“Mereka pun mendoakan kita dengan hal-hal yang baik. Semua yang mereka minta kita mencoba fasilitasi dan itu kebahagiaan yang tak terkira. Sampai akhirnya, mereka meminta nama saya untuk didoakan setiap hari,” kata Yundarini penuh haru.
Kisah Yundarini bukan hanya tentang kerja keras, tetapi juga tentang cinta yang tulus tanpa syarat. Di tengah lautan manusia yang menunaikan rukun Islam kelima, hadir sosok-sosok seperti Yundarini yang diam-diam menyalakan cahaya kasih dan pengabdian.
Mereka tidak hanya mengantar jamaah menunaikan wukuf, tetapi juga menghadirkan rasa aman, nyaman, dan dimanusiakan sepenuhnya. Dari tangan mereka yang menyuapi hingga peluh yang jatuh saat membopong, semua menjadi bentuk ibadah yang tak kalah mulia.
Doa tulus dari para jamaah lansia dan disabilitas menjadi balasan paling indah atas ketulusan itu. Saat nama seorang petugas disebut dalam setiap sujud dan lirih doa para kakek dan nenek yang mereka layani, di situlah kebahagiaan sejati hadir. Kisah ini mengingatkan kita bahwa ibadah tak hanya dilakukan di atas sajadah, tapi juga dalam pelayanan yang penuh cinta dan empati.
(Ramdani Bur)