JAKARTA - Sebagai umat Islam, doa menjadi sarana untuk memohon, meminta ampunan, hingga diberikan kemudahan oleh Allah SWT. Keluh kesah hingga keinginan bisa diutarakan melalui doa.
Namun, terkadang ketika doa tak kunjung terkabul, timbul rasa gelisah. Dalam pandangan Islam, doa adalah wujud eksistensi seorang hamba di hadapan Tuhannya. Ia bukan sekadar permintaan, melainkan pengakuan terdalam bahwa manusia itu fakir, lemah, dan sangat bergantung kepada Allah. Imam al-Ghazali menjelaskan:
ان في الدعاء تحقيق العبودية والافتقار، وهو مظهر حاجة العبد الى ربه في كل حال
Artinya: “Sesungguhnya dalam doa terdapat perwujudan penghambaan dan kefakiran. Ia adalah manifestasi kebutuhan hamba kepada Tuhannya dalam setiap keadaan,” (Ihya’ Ulumuddin, [Beirut, Darul Minhaj], Jilid I, Halaman 294)
Melansir laman NU, Rabu (12 November 2025), melalui doa, seorang hamba menegaskan jati dirinya sebagai makhluk yang membutuhkan. Rasa butuh itu adalah roh penghambaan, yang harus dijaga dalam setiap keadaan. Itu karena ketika seseorang tidak lagi merasa membutuhkan Allah, ia akan mencari sandaran lain, entah itu hawa nafsu, ego, atau bahkan khayalannya sendiri.
Bagi orang-orang yang mulai kehilangan makna doa, Ibnu Athaillah as-Sakandari memberi peringatan lembut dalam Al-Hikam:
لا تكن مطلبك سببا للاعطاء منه
Artinya: “Jangan jadikan permintaanmu sebagai sebab untuk diberi oleh-Nya.”
Kalimat singkat ini sarat makna. Doa bukanlah alat transaksi antara hamba dan Tuhan. Ia bukan sebab yang memaksa Allah untuk memberi, melainkan ibadah yang menunjukkan ketundukan dan kerendahan hati.
Berdoa bukan berarti sedang menawar, memancing, atau memaksa Allah agar mengabulkan keinginan. Cara pandang seperti ini justru menyempitkan makna doa dan menempatkan manusia seolah memiliki daya tawar terhadap Tuhannya. Padahal, hakikat doa adalah pernyataan kehambaan dan pengakuan bahwa kita tidak memiliki daya dan upaya selain dengan izin-Nya.