Tak Selalu Identik dengan Azab, Ini Ragam Musibah dalam Al-Qur'an

Rahman Asmardika, Jurnalis
Rabu 17 Desember 2025 10:14 WIB
Ilustrasi.
Share :

JAKARTA - Musibah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan, tak hanya manusia, tetapi semua mahkluk. Setiap orang pasti akan mengalaminya, baik dalam bentuk peristiwa yang menyenangkan maupun yang menyulitkan.

Dalam kehidupan sehari-hari, istilah musibah kerap dipahami sebagai sesuatu yang buruk atau menyedihkan. Padahal, dalam Al-Qur’an istilah musibah memiliki makna yang lebih luas, tak selalu idnetik dengan penderitaan, tetapi mencakup segala peristiwa yang menimpa manusia, baik berupa nikmat maupun cobaan.

Salah satu ayat yang menjelaskan keluasan makna musibah tersebut adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 79:

مَآ اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ۖ وَمَآ اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ

Artinya: “Kebaikan (nikmat) apa pun yang kamu peroleh (berasal) dari Allah, sedangkan keburukan (bencana) apa pun yang menimpamu itu disebabkan oleh (kesalahan) dirimu sendiri.”

Berikut penjelasan mengenai makna dan ragam musibah dalam Al-Qur'an sebagaimana dilansir dari laman NU Online.

1. Musibah Sebagai Ujian

Kategori musibah yang pertama berlaku sebagai ujian dari Allah. Dalam hal ini, bisa saja terjadi melalui jalur sesuatu yang menyenangkan seperti istidraj. Yakni, ketika manusia tetap diberikan kesenangan atau ketercukupan, meskipun dia senantiasa berbuat maksiat. Ini dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bersumber dari 'Uqbah bin 'Amir:

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا رَأَيْتَ اللّٰهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ، فَإِنَّمَا هُوَ ‌اسْتِدْرَاجٌ

Artinya: Dari Nabi SAW, ia bersabda: “Apabila engkau menyaksikan Allah memberi seorang hamba (kenikmatan) dunia di atas kemaksiatan yang disenanginya, maka sesungguhnya hamba tersebut berada (dalam ujian) yang disebut istidraj.”

 

Ujian Allah dalam bentuk istidraj ini memang sulit untuk disadari oleh pelakunya. Karena kesenangan dan kebahagiaan yang ditimbulkannya. Akan tetapi, secara perlahan, istidraj itu menghancurkan individu yang sukar sadar. Hal ini dijelaskan oleh Ath-Thayibi:

ومعنى استدراج الله: استدراجهم قليلاً قليلاً إلى ما يهلكهم، ويضاعف عقابهم من حيث لا يعلمون ما يراد به. وذلك أن تواتر الله نعمة عليهم مع انهماكهم في الغي، فكلما جدد عليهم نعمة ازدادوا بطرا وجددوا معصية، فيستدرجون في المعاصي بسبب ترادف النعم ظانين أن تواتر النعم أثرة من الله وتقريب، وإنما هي خذلان منه وتبعيد

Artinya, “Adapun makna istidraj Allah ialah bahwa Dia menjerumuskan mereka sedikit demi sedikit menuju sesuatu yang membinasakan mereka, serta melipatgandakan siksa atas mereka dari arah yang tidak mereka ketahui maksudnya. Hal itu terjadi karena Allah terus-menerus menganugerahkan nikmat kepada mereka, sementara mereka tenggelam dalam kesesatan. Setiap kali Allah memperbarui nikmat atas mereka, semakin bertambahlah kesombongan mereka dan mereka pun memperbarui perbuatan maksiat. Dengan sebab bertumpuk-tumpuknya nikmat itulah mereka ditarik sedikit demi sedikit ke dalam kemaksiatan, seraya menyangka bahwa kesinambungan nikmat tersebut merupakan bentuk keberpihakan dan kedekatan dari Allah, padahal sesungguhnya itu adalah bentuk penelantaran dari-Nya dan upaya menjauhkan mereka.” (At-Thayibi, al-Kasyif ‘An Haqaiqis Sunan, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2013], jilid IX, hlm. 360-361).

Namun acap kali, ujian yang diberikan oleh Allah turun melalui musibah yang tidak menyenangkan. Misalnya kehilangan sesuatu yang amat disayang, pertanian diserang hama, binatang ternak terkena wabah, ditinggal wafat oleh orang terdekat dan lain sebagainya. Maka dalam konteks ini, musibah sebagai ujian dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 155:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya: “Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang sabar.”

Segala musibah yang berlaku sebagai ujian, sebagaimana yang ada dalam QS. Al-Baqarah ayat 155 ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana kesabaran, keteguhan dan keimanan yang ada pada diri setiap hamba. Hal ini ditegaskan dengan keterangan dari Al-Qurthubi:

والمعنى لنمتحننكم لنعلم المجاهد والصابر علم معاينة حتى يقع عليه الجزاء

Artinya: “Adapun maknanya (QS. al-Baqarah ayat 155) ialah: sungguh Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui siapa yang berjihad dan siapa yang bersabar, hingga dengan demikian balasan (kebaikan) itu benar-benar berlaku atasnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Kairo, Darul Kutub al-Mishriyah, t.t.] jilid II, hlm. 173).

 

2. Musibah Sebagai Peringatan

Selanjutnya, kategori musibah yang kedua ialah berlaku sebagai peringatan untuk manusia. Dalam hal ini, Allah ingin menjadikan musibah sebagai sarana untuk membuat hamba-hambanya menjadi sadar dan kembali ke jalan-Nya.

Salah satu yang nyata dapat disaksikan, yakni musibah yang berkaitan dengan bencana ekologis. Sebab pembalakan hutan, terjadi banjir bandang, tanah longsor, krisis iklim dan sebagainya.

Belum lagi, eksploitasi sumber daya laut dengan penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan yang menyebabkan terumbu karang rusak, atau pun pembuangan limbah sampah keseharian yang menyebabkan ekosistem laut tercemar. Lantas dengan demikian, hasil tangkapan menjadi tidak maksimal dan terkontaminasi bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh manusia.

Maka musibah yang muncul akibat ulah manusia itu, disebutkan dan dikategorikan oleh Al-Qur’an sebagai musibah peringatan. Hal ini disebutkan dalam Surat Ar-Rum ayat 41:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Syekh Yahya bin Salam menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan kerusakan tersebut ialah berkurangnya curah hujan dan semakin menipisnya tumbuh-tumbuhan, baik di wilayah daratan seperti daerah pedalaman yang dekat dengan hutan, maupun di wilayah pesisir, yakni kawasan permukiman dan daerah yang sebelumnya dikenal subur. (Yahya bin Salam, At-Tasharif li Tafsiril Qur'an Mimma Isytabahat Asmauhu wa Tasharrafat Ma'anihi, [Tunisia: as-Syirkah at-Tunisiyah, 1979] hlm. 116).

Selain bencana ekologis, musibah sebagai peringatan juga bisa terjadi dalam aktivitas pribadi keseharian. Hal ini timbul akibat dari perbuatan dosa individu yang dilakukan, baik secara sembunyi atau terang-terangan di hadapan manusia. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Asy-Syura ayat 30:

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ

Artinya: “Musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan (Allah) memaafkan banyak (kesalahanmu).”

 

Dalam menjelaskan ayat ini, Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa musibah sebagai ujian ini bisa saja datang dalam bentuk penyakit dan lain sebagainya. Namun secara sederhana, ia mengutip hadits Nabi Muhammad Saw yang disampaikan melalui lisan Ali bin Abi Thalib:

عن أبي سخيلة قال قال علي بن ابي طالب إلا أخبركم بأفضل آية في كتاب الله عز وجل حدثنا بها رسول الله صلى الله عليه وسلم وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت ايديكم ويعفو عن كثير قال وسأفسرها لك يا علي ما أصابكم من مرض أو عقوبة أو بلاء في الدنيا فبما كسبت أيديكم والله عز وجل أكرم من أن يثني عليهم العقوبة في الآخرة وما عفا الله عنه في الدنيا فالله أحلم من أن يعود بعد عفوه

Artinya, “Dari Abu Sukhailah, ia berkata bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang ayat yang paling utama dalam Kitab Allah yang disampaikan kepada kami oleh Rasulullah?’ yakni firman Allah, “Apa saja musibah yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (kesalahan).” Kemudian Ali berkata, Rasulullah bersabda: ‘Aku akan menafsirkannya untukmu, wahai Ali. Yakni apa saja penyakit, hukuman, atau cobaan yang menimpa kalian di dunia, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri. Dan Allah yang Maha mulia tidak akan menggandakan hukuman atas mereka (manusia) di akhirat, dan apa yang telah Allah maafkan di dunia, maka Allah Maha penyantun sehingga Dia tidak akan kembali menghukum setelah ampunan-Nya. (Al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil, [Beirut: Darul Ihya’ At-Turats, 1420H] jilid IV, hlm. 149).

3. Musibah Sebagai Azab

Kemudian, kategori musibah yang disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku sebagai Azab (siksaan). Namun jenis peristiwa ini biasanya dan sering terjadi pada umat para rasul terdahulu. Yakni hal tersebut bertujuan sebagai bentuk balasan atas perbuatan mereka yang melawan ketentuan Tuhan serta menolak dakwah.

Banyak sekali musibah yang berlaku sebagai azab bagi umat terdahulu yang disebutkan dalam Qur’an, di antaranya, terjadi bagi umat Nabi Nuh As berupa banjir yang menenggelamkan mereka hingga binasa tak tersisa. Fenomena itu diabadikan pada surat Hud ayat 40:

حَتّٰىٓ اِذَا جَاۤءَ اَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّوْرُۙ قُلْنَا احْمِلْ فِيْهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَاَهْلَكَ اِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ وَمَنْ اٰمَنَ ۗوَمَآ اٰمَنَ مَعَهٗٓ اِلَّا قَلِيْلٌ

Artinya: (Demikianlah,) hingga apabila perintah Kami datang (untuk membinasakan mereka) dan tanur (tungku) telah memancarkan air, Kami berfirman, “Muatkanlah ke dalamnya (bahtera itu) dari masing-masing (jenis hewan) sepasang-sepasang (jantan dan betina), keluargamu kecuali orang yang telah terkena ketetapan terdahulu (akan ditenggelamkan), dan (muatkan pula) orang yang beriman.” Ternyata tidak beriman bersamanya (Nuh), kecuali hanya sedikit.”

 

Sementara itu, terdapat musibah lain yang berlaku juga sebagai azab bagi umat terdahulu. Hal ini terjadi kepada para pengingkar Nabi Luth As, yang dihujani oleh batu dari langit sehingga mereka musnah tiada bersisa. Diabadikan dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 81:

قَالُوْا يٰلُوْطُ اِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَّصِلُوْٓا اِلَيْكَ فَاَسْرِ بِاَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِّنَ الَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ اَحَدٌ اِلَّا امْرَاَتَكَۗ اِنَّهٗ مُصِيْبُهَا مَآ اَصَابَهُمْ ۗاِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ ۗ اَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيْبٍ

Artinya: “Mereka (para malaikat) berkata, “Wahai Luth, sesungguhnya kami adalah para utusan Tuhanmu. Mereka tidak akan dapat mengganggumu (karena mereka akan dibinasakan). Oleh karena itu, pergilah beserta keluargamu pada sebagian malam (dini hari) dan jangan ada seorang pun di antara kamu yang menoleh ke belakang, kecuali istrimu (janganlah kamu ajak pergi karena telah berkhianat). Sesungguhnya dia akan terkena (siksaan) yang menimpa mereka dan sesungguhnya saat (kehancuran) mereka terjadi pada waktu subuh. Bukankah subuh itu sudah dekat?”

Di sisi lain, banyak musibah azab lain yang diabadikan dalam Al-Qur’an yang dijadikan sebagai pembelajaran. Seperti, gempa bumi yang menimpa umat Nabi Musa (dalam QS. Al-A’raf: 155), dan kabut asap yang terjadi pada kaum Quraisy di masa Nabi Muhammad (dalam QS. Ad-Dukhan: 10).

Demikianlah, tiga kategori musibah yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Terkadang musibah dapat berlaku sebagai ujian atau peringatan untuk diri kita sebagai umat manusia. Namun, musibah juga bisa berupa azab, sebagaimana yang terjadi kepada para pengingkar nabi-nabi terdahulu.

Wallahua’lam.

(Rahman Asmardika)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya