Pada zaman dahulu kala, kira-kira lima tahun sebelum Nabi Muhammad SAW menerima mandat kerasulan, bangunan Kabah pernah dipugar. Konon penyebab pemugaran itu karena konstruksi Kakbah yang sudah mulai rapuh.
Sejak pertama kali dibangun Nabi Ibrahim dengan dibantu putranya, Nabi Ismail, Kakbah belum pernah dipugar. Ada banyak riwayat yang menjelaskan perihal pemugaran itu sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Al-Bidayah wa al-Nihayah (2/339) karya Ibn Katsir. Salah satu riwayat menyebut bahwa kerusakan bangunan Kakbah disebabkan badai gurun yang terjadi waktu itu.

(Foto: Daily Express)
Singkat cerita, bangunan Kakbah pun diruntuhkan dan diganti dengan konstruksi baru. Namun, ketika sesi peletakan Hajar Aswad terjadilah pertentangan di kalangan para pemuka kabilah.
Masing-masing pemuka merasa yang paling pantas mendapat kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya semula. Pertentangan dan perselisihan pun tak terelakkan. Bahkan, mereka hampir saling membunuh.
Guna menghindari pertikaian berdarah, kemudian mereka bersepakat, Barang siapa yang masuk pertama kali ke area Kakbah keesokan harinya, maka orang itulah yang berhak meletakkan Hajar Aswad.
Tak disangka, Nabi Muhammad jadi orang yang pertama kali masuk ke area Kakbah. Berdasarkan kesepakatan sebelumnya, Nabi Muhammad yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad ke dinding Kakbah. Tapi Nabi Muhammad bukan sosok yang egois. Dibeberlah kain lebar, lalu diletakkanlah Hajar Aswad di atas kain tersebut. Lalu dimintalah semua perwakilan kabilah turut serta memegang tepi kain dan mengangkat Hajar Aswad bersama-sama.
Inilah ikhtiar rekonsiliasi (al-ishlah) yang diteladankan Nabi Muhammad SAW sehingga perselisihan dan pertikaian menjadi reda. Masih banyak cerita serupa yang menunjukkan kemampuan Nabi menjadi rekonsiliator (al-mushlih) ketika terjadi konflik dan polarisasi di tengah-tengah umat.