PADA dasarnya, gerakan feminisme ialah sebuah gerakan emansipasi wanita yang mendukung adanya kesetaraan dengan kaum laki-laki. Feminisme bukan membenci kaum laki-laki, namun lebih kepada berperang melawan patriarki yang masih membudaya di tengah masyarakat.
Adanya stigma yang masih melekat bahwa perempuan itu lemah dan tak berdaya membuat tak sedikit perempuan yang turut serta melibatkan dirinya dalam gerakan feminisme.
Kisah menarik datang dari seorang feminis asal Amerika Serikat, Laura El Alam. Ia mengisahkan perjalanannya sebagai seorang pejuang feminisme garis keras yang akhirnya memutuskan memeluk Islam saat berusia 25 tahun.
Sebagaimana dilansir dari Aboutislam.net, Rabu (1/7/2020), Laura menceritakan dirinya yang dulu, yang mengakui sebagai seorang feminis sejati. Pemberian label sebagai feminis ini diperkuat dengan kondisi lingkungan pertemanannya, dimana kebanyakan wanita muda di sekelilingnya adalah seorang pejuang feminisme.
Ia menceritakan, latar belakang dari menjadi seorang feminis ialah lantaran seringkali ia menyaksikan bagaimana seorang gadis atau wanita-wanita dewasa tak dihargai oleh pria dilingkungannya, seperti maraknya pelecehan seksual, hingga ditolak di berbagai kesempatan hanya karena mereka seorang wanita.
Baca juga: Moderasi Beragama, Beda Pendapat Jangan Dianggap Lawan
Bahkan, tak sedikit dari acara sinetron genre komedi, film hingga iklan yang tayang mengandung lelucon seks dan menggambarkan karakter perempuan yang hanya dianggap seolah sebagai makhluk tak berdaya dan pantas ditertawakan, seakan seperti benda penarik seksual dengan pengharusan berpakaian minim untuk menarik daya jual sebuah barang, seperti sampo, bir atau mobil.
Tak hanya itu, di sektor bisnis, pria selalu mendapatkan lebih banyak uang dibandingkan rekan kerja wanita. Padahal, pekerjaan yang dilakukan adalah sama persis. Budaya patriarki juga terlihat di lingkungan sekolah, di mana kebanyakan anak perempuan tidak memiliki kesempatan pendidikan yang sama dengan anak laki-laki, dan kemampuan mereka dalam mata pelajaran tertentu, seperti misalnya matematika dan sains juga kerap diremehkan.
Laura mengatakan, saat dirinya masih muda, pelecehan seksual belum terdefinisikan dengan sedemikian rupa, namun faktanya memang sudah mengakar seakan budaya dalam masyarakat seolah-olah itu adalah hal normal. Dicontohkan, misalnya yang dilakukan oleh seorang bos perusahaan yang memberikan komentar sugestif mengarah ke seksual pada sekretarisnya.
Hal ini seakan tak mengejutkan, di mana laki-laki seringkali membuat lelucon dan komentar vulgar mengenai perempuan, melakukan catcalling, hingga pada penggunaan kekuatan fisik untuk memaksa perempuan melakukan sesuatu yang tak dikehendakinya.
Laura mengaku bahwa sebagai perempuan yang berada di kondisi mengerikan tersebut terbilang sangat sulit, dimana sebagai seorang perempuan seperti terdapat batasan, antara ingin berpenampilan cantik namun juga dinilai terlalu menggoda, yang tak jarang disalahkan terhadap reaksi para pria atas penampilan mereka.
“Kami selalu untuk tak pergi ke toilet umum seorang diri, biasanya selalu ada yang menemani atau bahkan berkelompok. Membawa semprotan merica di malam hari, dan menghindari jalanan gelap atau tempat parkir yang sepi. Kami seakan didefinisikan bahwa menjadi seorang wanita itu selalu merasa takut, atau merasa tidak aman, setiap harinya,” katanya.
Munculah pertanyaan, mengapa tidak seorang wanita lebih menghargai dirinya sendiri di Amerika, dengan mendambakan suatu sistem yang seharusnya mampu membuatnya merasa aman, dihormati dan diberdayakan?