KISAH mualaf Chicha Koeswoyo bermula dari mendengar lantunan adzan maghrib. Ia menceritakan lahir dari keluarga beda agama. Ayahnya mendiang Nomo Koeswoyo keturunan Sunan Drajat dan seorang Muslim. Sementara sang ibu Fatimah Francisca merupakan Nasrani.
Chicha Koeswoyo mengungkapkan perbedaan agama tidak pernah menjadi masalah dalam keluarganya. Pasalnya, orangtuanya saling menghormati satu sama lain.
"Setiap Natal atau Lebaran, rumah kami selalu meriah. Semua orang bersukacita," ujar Chicha dalam unggahan di akun Facebook-nya pada Desember 2018.
Chicha Koeswoyo tumbuh dengan pengaruh agama Kristen dari sang ibu. Semasa kecil, dia selalu ikut sekolah minggu di gereja diantarkan sang ayah. Tapi, hidayah Islam menghampirinya di usia 16 tahun.
Suatu sore Chicha Koeswoyo yang ingin mematikan televisi saat adzan maghrib berkumandang justru kehilangan remote-nya.
"Saya cari di sela-sela sofa, angkat semua bantal, dan periksa kolong meja, tapi tetap tidak ketemu. Akhirnya saya menonton adzan maghrib," bebernya.
Setelah adzan maghrib berlalu, Chicha Koeswoyo mengaku hatinya terasa teduh. Ia seolah terhipnotis hingga tubuhnya terasa ringan serta nyaman saat mendengarkan adzan.
"Dalam pikiran saya, ada suara yang bilang, 'Sampai kapan kau mengabaikan panggilan-Ku? Masihkah kau terus berpaling dari Aku?'," katanya.
Suara adzan tersebut membuat Chicha Koeswoyo menangis. Dia mengaku tidak bisa menafsirkan dengan detail apa yang dirasakannya saat itu.
"Seperti rasa sedih, marah, bingung, galau, hampa, atau takut bercampur jadi satu," ungkapnya.
Ditemani sang adik, Chicha Koeswoyo kemudian belajar agama Islam. Mereka membeli kitab suci Alquran dan tafsirnya, mukena, serta buku tuntunan sholat.
Dari buku itu pula, dia mulai belajar wudhu dan menghafal bacaan sholat. Setelah cukup yakin dengan keputusannya, dan restu sang ibu, Chicha Koeswoyo kemudian mantap bersyahadat di Masjid Al Azhar pada 1984.
"Dengan hati tenteram, saya menjalani hidup sebagai perempuan Muslim," pungkasnya.
Wallahu a'lam bisshawab.
(Hantoro)