KONSEP Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang diluncurkan Muhammadiyah mendapat sejumlah kritik. Para kritikus menilai pemaksaan kalender Hijriah yang seragam secara global bertentangan dengan prinsip ilmiah dan praktik rukyat.
Menurut mereka, penerapan Kalender Hijriah Global Tunggal bisa menyebabkan beberapa wilayah harus memasuki bulan baru meskipun hilal belum terlihat. Sementara wilayah lain harus menunggu hari berikutnya meskipun hilal sudah terlihat sehari sebelumnya.
Salah satu kekhawatiran utama para pengkritik adalah potensi terjadinya bulan baru di suatu kawasan padahal hilal masih di bawah ufuk. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam mengajarkan agar "Liru'yatihi atau melihat hilal" sebagai tanda masuknya bulan baru.
Jika hilal masih di bawah ufuk, maka mustahil hilal dapat dilihat, sehingga memaksakan penerapan bulan baru dalam kondisi tersebut dianggap tidak sesuai dengan sunnah.
Dikutip dari Muhammadiyah.or.id, Senin (29/7/2024), Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar menanggapi kritik tersebut dengan menegaskan bahwa KHGT harus memenuhi dua syarat fundamental.
Pertama, tidak boleh menunda suatu wilayah memasuki bulan baru jika sudah memenuhi syarat imkanu rukyat (5–8) di mana pun di permukaan bumi. Kedua, tidak boleh memaksa suatu wilayah memasuki bulan baru jika belum terjadi konjungsi.
Dengan demikian, kalender harus memastikan bahwa wilayah di ujung barat tidak dipaksa menunda masuk bulan baru hanya untuk menunggu wilayah di ujung timur, sementara hilal sudah terlihat di ufuk mereka.
Sebaliknya, kalender juga tidak boleh memaksa wilayah di ujung timur memasuki bulan baru jika konjungsi belum terjadi.
"Dua syarat ini begitu fundamental, apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi, maka KHGT tidak bisa diterapkan," ujar Syamsul pada Rabu 10 Juli 2024.