PAHALA salat berjamaah di masjid 22 derajat lebih tinggi dibanding salat sendirian di rumah. Itu makanya Muslim semestinya salat berjamaah di rumah Allah. Sementara itu ketika berjamaah, tentu saf salat harus dirapatkan dan diluruskan.
Namun terkadang ada seorang makmum yang salat, bikin saf salat sendirian karena saf di depannya sudah penuh. Jika demikian, bagaimana hukumnya?
Permasalahan ini adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Terdapat tiga pendapat ulama dalam masalah ini.
Pendapat Pertama
Seseorang boleh membuat saf sendirian di belakang jamaah lainnya, dan salatnya sah. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, termasuk tiga imam madzhab, yaitu Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah rahimahumullah. Di antara dalilnya adalah hadits sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu yang terlambat salat jamaah, kemudian disebutkan,
فَرَكَعَ دُونَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ
“Abu Bakrah ruku’ sebelum sampai di saf, sambil berjalan menuju saf.” (HR. Bukhari no. 784 dan Abu Dawud no. 684, lafadz hadits ini milik Abu Dawud)
Al-Baghawi rahimahullah berkata,
“Dalam hadits ini terdapat masalah fiqh, yaitu siapa saja yang salat sendirian di belakang saf dan menjadi makmum, maka salatnya sah. Hal ini karena Abu Bakrah ruku’ di belakang saf. Sehingga ada sebagian dari salatnya yang dikerjakan di belakang saf. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk mengulang salatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk bagaimanakah sebaiknya yang hendaknya dikerjakan di masa mendatang, yaitu “Janganlah diulangi lagi.” Ini adalah larangan dalam rangka memberikan bimbingan, bukan larangan yang menunjukkan pengharaman. Jika ini adalah larangan dalam rangka mengharamkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkannya untuk mengulang salatnya.” (Syarhus Sunnah, 3: 338)
Pendapat ke Dua
Salat sendirian di belakang saf salat berjamaah itu tidak sah. Ini adalah madzhab Imam Ahmad, dan juga salah satu riwayat dari pendapat Imam Malik, juga dipilih oleh sejumlah ulama fiqh dan ulama ahlul hadits. Ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahumullah.
Ulama yang memilih pendapat ini berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang salat sendirian di belakang saf. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengulang salatnya.” (HR. Abu Dawud no. 682, At-Tirmidzi no. 230, dan Ibnu Majah no. 1004, dinilai hasan oleh At-Tirmidzi)
Hadits ini juga memiliki penguat dari hadits ‘Ali bin Syaiban, beliau berkata,
خَرَجْنَا حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَايَعْنَاهُ، وَصَلَّيْنَا خَلْفَهُ، ثُمَّ صَلَّيْنَا وَرَاءَهُ صَلَاةً أُخْرَى، فَقَضَى الصَّلَاةَ، فَرَأَى رَجُلًا فَرْدًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ، قَالَ: فَوَقَفَ عَلَيْهِ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ انْصَرَفَ قَالَ: اسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ، لَا صَلَاةَ لِلَّذِي خَلْفَ الصَّفِّ
“Kami berangkat hingga akhirnya sampai di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kami membai’at dan salat di belakangnya. Setelah itu kami mengerjakan salat yang lain di belakang beliau. Selesai salat, beliau melihat seorang laki-laki salat sendirian di belakang saf.” ‘Ali bin Syaiban berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlalu, beliau berhenti di sisi orang itu, lalu bersabda, “Ulangilah salatmu, karena tidak ada (tidak sah) salat bagi orang yang salat sendirian di belakang saf.” (HR. Ibnu Majah no. 1003, shahih)
Para ulama yang mengikuti pendapat ke dua ini kemudian berselisih, apa yang harus dilakukan jika ada satu orang datang dan dia jumpai saf sudah penuh (tidak ada satu pun celah). Sebagian ulama mengatakan, dia harus menarik satu orang di saf agar bisa menyusun saf berdua dengannya.
Sebagian ulama mengatakan, dia harus berdiri di samping imam. Tidak terdapat dalil dalam masalah ini. Namun, terdapat riwayat dari Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berdiri di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit. Akan tetapi, peristiwa ini adalah kasus yang bersifat kasuistik. Selain itu, kita bayangkan jika safnya itu banyak. Dia harus menyibak saf-saf tersebut agar bisa sampai ke tempat imam. Tentu ini akan mengganggu jamaah salat dan juga mengganggu imam.
Lalu, bagaimana lagi jika ada orang kedua, disusul orang ketiga yang datang terlambat, tentu makin banyak jamaah yang salat di samping imam. Oleh karena itu, masalah ini mengisyaratkan lemahnya pendapat yang ke dua ini.
Pendapat Ketiga
Pendapat yang memberikan perincian dalam masalah ini. Yaitu, apabila dia masih mendapatkan sedikit celah untuk masuk ke saf di depannya, dan dia tidak melakukannya dan memilih membuat saf sendirian di belakang, maka salatnya tidak sah. Namun, jika dia sudah berusaha mencari dan saf betul-betul sudah penuh, maka boleh menjadi makmum sendirian di belakang saf.
Inilah yang menjadi pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Qudamah, dan juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah. Ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahumullah.
Pendapat yang Paling Kuat dan Alasannya
Pendapat ketiga inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini, dengan didukung beberapa alasan (argumentasi) berikut ini:
Pertama, para ulama sepakat bahwa rukun dan wajib salat itu gugur ketika tidak mampu dikerjakan. Sebagaimana perkara yang haram juga gugur ketika terdapat situasi darurat. Ini adalah salah satu kaidah penting dalam syariat. Misalnya, berdiri adalah rukun salat. Namun, ketika seseorang tidak mampu berdiri, dia boleh salat sambil duduk atau berbaring. Menyusun saf bukanlah termasuk rukun dan wajib salat. Kita tidak ragu lagi bahwa kalau memang tidak bisa bergabung dengan saf yang sudah ada (karena sudah penuh), maka ini adalah situasi ‘udzur yang bisa dimaklumi.
Kedua, bahwa dalil-dalil umum dari syariat juga menguatkan hal ini. Misalnya, firman Allah Ta’ala,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah Ta’ala semampu kalian.” (QS. At-Taghaabun [64]: 16)
Juga Firman Allah Ta’ala,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)
Ketiga, pendapat ini adalah pendapat yang menggabungkan semua dalil yang ada dalam masalah ini. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ali bin Syaiban,
لَا صَلَاةَ لِلَّذِي خَلْفَ الصَّفِّ
“ … karena tidak ada (tidak sah) salat bagi orang yang salat sendirian di belakang saf.”
Dimaknai jika orang tersebut ceroboh dalam melaksanakan kewajiban (alias sebetulnya masih ada celah untuk dimasuki, namun dia memilih di belakang saf sendirian). Adapun jika memang saf itu sudah sangat rapat dan penuh, dia tidak lagi mendapatkan celah meskipun sedikit, tidak termasuk dalam larangan hadits ini.
Demikian ditulis oleh M. Saifudin Hakim, sebagaimana dilansir dari laman Muslim.or.id pada Jumat (22/11/2019).
(Abu Sahma Pane)