BERIKUT ini kisah seorang Waliyullah asal Tanah Jawa yakni Kiai Sholeh Darat. Beliau memiliki nama asli Muhammad Sholeh ibn Umar al Samarani. Kiai Sholeh Darat lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar tahun 1820/1235H.
Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, Mbah Sholeh Darat sering menggunakan nama Syekh Haji Muhammad Shalih ibn Umar al Samarani. Demikian dikutip dari laman Laduni, Rabu (15/12/2021).
Baca juga: Kisah Sopir di Malang Jadi Waliyullah, Punya Ponpes dan Ribuan Santri
Pemberian nama Darat disematkan kepada Kiai Sholeh karena tinggal di kawasan dekat pantai utara Kota Semarang, yakni tempat berlabuhnya orang-orang dari luar Pulau Jawa.
Kini nama Darat tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.
KH Sholeh Darat merupakan sosok ulama yang memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara Jawa, khususnnya di Semarang.
Ayahnya yaitu KH Umar adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa.
Baca juga: Hukum Mencium Istri ketika Berpuasa, Apakah Membatalkan?
Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Shaleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab fikih, seperti Fath al Qarib, Fath al Mu’in, Minhaj al Qawim, dan Syarb al Khatib).
Kiai Sholeh Darat menimba ilmu di pesantren-pesantren pada zamannya. Ia banyak berjumpa dengan kiai-kiai mashur yang dikenal memiliki kedalaman serta keluasan ilmu batin, dan kemudian menjadi gurunya.
Di antara nama kondang tersebut salah satunya adalah KH M Sahid yang merupakan cucu dari Syekh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama asal Desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, yang hidup di zaman Mataram Kartosuro pada sekitar abad ke-18.
Dari syekhnya itulah ia belajar beberapa kitab fikih, seperti Fath al Qarib, Fath al Mu’in, Minhaj al Qawim dan, Syarh al Khatib. Terdapat catatan, dikarenakan kitab-kitab tersebut bukanlah kelas-kelas pengantar, maka mempelajarinya membutuhkan waktu relatif lama.
Baca juga: 9 Tanda Hari Kiamat Makin Dekat, Nomor 6 Baru Saja Dialami
Safari perjalanan keilmuannya berlanjut kepada Kiai Raden Haji Muhammad Salih ibn Asnawi, di Kudus. Dari situ ia mengkaji Kitab Al-Jalalain al-Suyuti.
Di Semarang, beliau mendalami nahwu dan sharaf dari Kiai Iskak Damaran, kemudian belajar ilmu falak dari Kiai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni.
Berlanjut kepada Ahmad Bafaqih Balawi demi mengkritisi kajian Jauharah At-Tauhid buah karya Syekh Ibrahim al Laqani dan Minhaj al Abidin karya Al Ghazali.
Masih di Semarang, kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas Ahmad al-Misri, sebuah depiksi tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke-19 dicernanya dengan tuntas dari Syekh Abdul al Ghani.
Baca juga: Catat! Ini 10 Sifat Istri yang Bisa Bikin Lancar Rezeki Suami
Tidak pernah puas, haus ilmu, itulah sifat setiap ulama. Demikian pula beliau, nyantri kepada Kiai Syada’ dan Kiai Murtadla pun dijalaninya yang kemudian menjadikannya sebagai menantu.
Setelah menikah, Kiai Sholeh Darat merantau ke Makkah. Di Tanah Haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syekh Muhammad al Muqri, Syekh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah al Makki, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi.
Kemudian Sayyid Muhammad Salen ibn Sayyid Abdur Rahman Az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar Asy-Syami, Syekh Yusuf al Mishri, dan lain-lain.
Berkat kecerdasan, kealiman, dan keluasan ilmu serta kemampuannya; akhirnya Kiai Sholeh Darat mendapat ijazah dari beberapa gurunya untuk mengajar di Makkah.
Selama di Makkah, beliau didatangi banyak murid, terutama dari kawasan Melayu-Indonesia. Beberapa tahun kemudian Kiai Sholeh Darat kembali ke Semarang karena ingin berkhidmat kepada Tanah Air.
Baca juga: Kisah Mualaf Deddy Corbuzier, Merasa Sangat Nyaman Setelah Jadi Muslim
Beliau kemudian mendirikan pesantren di kawasan Darat, Semarang. Oleh karena itu, beliau dikenal sebagai Kiai Sholeh Darat.
Kepada murid-muridnya, Kiai Sholeh Darat selalu menganjurkan agar mereka giat menuntut ilmu. Menurut beliau, inti Alquran adalah dorongan kepada umat manusia untuk menggunakan seluruh potensi akal budi dan hatinya guna memenuhi tuntutan kehidupan dunia dan akhirat.
Beberapa santri seangkatannya antara lain KH Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan.
Sepulang dari Makkah, Muhammad Shaleh mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya KH Murtadlo. Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat. Di pesantren inilah lahir ulama-ulama seperti Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Haji Mahfuz Termas yang pakar hadis dan pendiri Pesantren Termas Pacitan.
Baca juga: Cerita Mualaf Influencer Sheikha Golani, Rasa Sakitnya Hilang ketika Pertama Kali Sujud
Kemudian ada KH Ahmad Dahlan sang pendiri organisasi Muhammadiyah, KH Idris pendiri Pesantren Jamsaren Solo, KH Sya’ban sang ahli ilmu falak yang tersohor, KH Bisri Syamsuri, dan KH Dalhar.
Salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Kiai Sholeh Darat menjadi pelopor penerjemahan Alquran ke bahasa Jawa.
Menurut catatan cucu Kiai Sholeh Darat, RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Alquran.
Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Kiai Shaleh Darat.
Baca juga: Kisah Abu Nawas Dikasih Jabatan Malah Pura-Pura Gila di Depan Raja
Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surah Al Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Kiai Sholeh Darat. Dalam sebuah pertemuan RA Kartini meminta agar Alquran diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.
Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Alquran. Kiai Sholeh Darat menentang larangan ini. Beliau menerjemahkan Alquran dengan ditulis dalam huruf arab gundul (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Alquran ini diberi nama Kitab Faid Ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada RA Kartini pada saat dia menikah dengan RM Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang.
Sebagai Wali Allah, Kiai Sholeh Darat juga dikenal memiliki karamah. Makamnya pun menjadi tujuan ziarah banyak orang. Salah seorang wali terkenal yang suka mengunjungi makamnya adalah Gus Miek (Hamim Jazuli).
Baca juga: 6 Tanda Allah Ta'ala Menerima Sholatmu, Nomor 3 Wajib Dilakukan
Meski meninggal pada bulan Ramadhan, Haul Mbah Shaleh Darat diperingati setiap tanggal 10 Syawal di makamnya, yakni di Permakaman Bergota Semarang.
Dikisahkan bahwa suatu ketika Mbah Sholeh Darat sedang berjalan kaki menuju Semarang. Kemudian lewatlah tentara Belanda berkendara mobil.
Begitu mobil mereka menyalip Mbah Sholeh Darat, tiba-tiba mogok. Mobil itu baru bisa berjalan lagi setelah tentara Belanda memberi tumpangan kepada Mbah Shaleh Darat.
Di lain waktu, karena mengetahui pengaruh Mbah Sholeh Darat yang besar, Pemerintah Belanda coba menyogoknya. Maka diutuslah seseorang untuk menghadiahkan banyak uang kepada Mbah Sholeh, dengan harapan Mbah Sholeh Darat mau berkompromi dengan penjajah Belanda.
Mengetahui hal ini Mbah Sholeh Darat marah, dan tiba-tiba dia mengubah bongkahan batu menjadi emas di hadapan utusan Belanda itu. Namun kemudian Mbah Sholeh Darat menyesal telah memperlihatkan karomahnya di depan orang. Beliau dikabarkan banyak menangis jika mengingat kejadian ini hingga akhir hayatnya.
Kiai Sholeh Darat wafat di Semarang pada hari Jumat Wage tanggal 28 Ramadan 1321 Hijriah atau 18 Desember 1903 Masehi. Beliau dimakamkan di permakaman umum Bergota Semarang dalam usia 83 tahun.
Wallahu a'lam bishawab.
Baca juga: Makan Minum Secukupnya, Ustadz Adi Hidayat Ungkap Manfaatnya untuk Kesehatan
(Hantoro)