BAGI saya yang merupakan seorang penikmat olahraga sepakbola, sudah bukan hal aneh jika masa injury time dari pertandingan final akan berlangsung intens. Ini akan menyajikan banyak kejutan dan dituntaskan dengan penuh semangat.
Tidak jarang bagi tim yang berisi pemain dengan stamina “kurang oke” akhirnya takluk di hadapan lawannya yang tampil mengganas, dan itu semua ditentukan hanya dalam hitungan menit saja.
Kendati satu tim sudah berlaga dengan baik dan rapi, menerapkan strategi bertarung di atas lapangan selama 90 menit waktu normal, jika tidak diakhiri dengan baik, maka bisa saja hasil akhir tidak berpihak kepada mereka.
Nilai-nilai ini juga dapat saya lihat secara nyata selama melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan di Negeri Matahari Terbenam, Maroko. Selama melalui beberapa momentum Ramadhan di Maroko, saya mendapati ada beberapa pendekatan unik warganya yang tidak biasa untuk dilakukan selain pada bulan Ramadhan.
Lebih spesifiknya, sepuluh malam terakhir, seperti dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kitab suci Alquran dan dijelaskan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam dalam sejumlah hadits, bahwa pada salah satu malam di antara sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, menjanjikan kemuliaan yang lebih baik dari kemuliaan seribu bulan bagi mereka yang mendapat keberkahannya.
Jika dituangkan dalam kalimat, kesan yang saya dapati sejak pertama kali melalui bulan Ramadhan di Maroko adalah makin akhir, makin semangat.
Maroko merupakan negara kerajaan yang 99 persen masyarakatnya beragama Islam. Di kalangan akademisi Islam, Maroko dikenal juga sebagai negara yang menjadi salah satu kiblat utama pendidikan dan kebudayaan Islam dunia.
Selain dibuktikan dengan adanya Universitas Al-Qarawiyyin yang merupakan universitas tertua di dunia saat ini, negeri ini juga sejak dulu dikenali sebagai negerinya para sufi.
Tidak sedikit tokoh sufi terkemuka dunia yang lahir dan tumbuh di Maroko, sebut saja Abu al-Hasan Asy-Syadzili, penggagas tarekat Syadziliyah yang merupakan seorang tokoh sufi asal Syadzila, Maroko.
Penulis buku Dalail al-Khairat, Syaikh Sulaiman al-Jazuli yang karangannya sangat masyhur di Indonesia, diriwayatkan bahwa ia menulis bukunya tersebut di dalam salah satu ruangan kecil di Medersa Seffarine, Fes, Maroko.
Sidi Ahmed at-Tijani, penggagas tarekat Tijaniyah, merupakan seorang ulama asal Maroko, makamnya serta pusat pergerakannya ada di Kota Fes, Maroko.
Dari sejumlah fakta tersebut, maka tidak heran jika kemudian cara beragama masyarakat Muslim Maroko dipenuhi dengan pendekatan kebudayaan ala sufisme, khususnya pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
Dalam beberapa kesempatan, saya melihat baik bagaimana cara masyarakat Muslim Maroko memanfaatkan sepuluh malam terakhir Ramadhan dengan sebaik mungkin. Di kebanyakan zaouiya (dibaca: zawiyah), yang dikenali di Maroko sebagai pusat pengenalan ilmu agama dengan pendekatan sufistik, seperti wirid khusus, zikir, tari-tarian dan nyanyian, terlihat jelas bagaimana sepuluh malam terakhir dimanfaatkan dengan penuh semangat.
Agenda-agenda majelis amdah (majelis zikir dan shalawat) yang biasanya dilaksanakan pada hari tertentu, dilaksanakan lebih gencar di kebanyakan zaouiya pada sepuluh malam terakhir Ramadhan.
Namun masyarakat Maroko pun tidak sepenuhnya wali. Di kalangan masyarakat awam, sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan ini tidak dilalui sebagaimana para praktisi sufistik memanfaatkan waktunya. Kendati demikian, gairah masyarakat Muslim Maroko secara umum juga sangat bisa dirasakan karena perbedaan suasananya dibandingkan malam-malam lainnya.
Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, pada tradisi masyarakat Maroko, keagungan sepuluh malam terakhir lebih digaungkan ketimbang hari raya Idul Fitri. Jika di Indonesia para orang tua akan mengusahakan yang terbaik untuk dapat memberikan pakaian baru, menyajikan makanan terbaik, dan bermaaf-maafan pada momentum Idul Fitri, masyarakat Maroko melakukan itu semua pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam ganjil.
Pada sepuluh malam terakhir ini, para orang tua akan membelikan pakaian tradisional Maroko kepada anak-anaknya, merias, memakaikan perhiasan dan memasangkan inai bagi anak-anak perempuannya, kemudian membawa mereka ke studio foto terdekat untuk diabadikan dalam bentuk gambar.
Bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial berlebih, tidak jarang menghias bagian khusus dalam rumahnya dengan pernak-pernik yang biasanya hanya dipakai dalam peringatan-peringatan khusus seperti pernikahan dan khitanan, untuk dijadikan spot perayaan bagi anak-anaknya.
Saya pernah menanyakan tujuan dari diadakannya tradisi ini kepada salah satu rekan kuliah di kampus yang sudah memiliki beberapa anak. Ia menjelaskan bahwa para orang tua berusaha memberikan pemahaman kepada anak-anaknya bahwa sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan, terlebih malam-malam ganjil, merupakan hari-hari yang sepatutnya dilewati dengan penuh semangat dan kegembiraan.
Selanjutnya, bagaimana dengan tradisi masyarakat Muslim dalam menghidupkan masjid-masjidnya di sepuluh malam terakhir Ramadhan?
Sebagaimana sering terjadi di masjid-masjid Indonesia pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, setidaknya di kampung halaman saya, sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan diisi dengan kegiatan-kegiatan itikaf dengan membuka selebar-lebarnya pintu masjid bagi setiap orang yang ingin memaksimalkan waktu-waktu emas ini sepenuhnya di masjid, sehingga suasana beribadah lebih terasa hidup.
Di Maroko, tradisi itikaf dilaksanakan dengan cara yang berbeda, dan tidak hanya dilaksanakan pada sepuluh malam terakhir. Pada bulan-bulan lain di luar Ramadhan, seluruh masjid seantero Maroko tidak dibuka kecuali pada waktu-waktu salat lima waktu selain turut dibuka pada kegiatan keilmuan dan keagamaan khusus.
Selama Ramadhan sejak awal hingga akhir, setelah ditutup seusai dilaksanakannya sholat tarawih, masjid-masjid akan kembali dibuka pada dini harinya untuk kembali melanjutkan dan menuntaskan sholat tarawih hingga witir.
Di Maroko, biasanya masjid-masjid melaksanakan sholat tarawih sebanyak 8–10 rakaat, kemudian kembali melanjutkan pada dini harinya dengan jumlah rakaat yang sama, ditambah 3 rakaat witir 2 kali salam.
Di luar waktu-waktu tersebut dan waktu tertentu lainnya, tidak ada pintu masjid yang dibuka untuk publik. Bahkan jarang sekali –jika tidak disebut tidak ada– masjid yang membuka pintunya sejak sebelum azan maghrib berkumandang untuk dijadikan tempat berbuka puasa bersama.
Di Maroko, masyarakatnya tidak mengenali konsep buka puasa bersama, kecuali dengan keluarga kecil dan besar. Sejak awal hingga pertengahan Ramadhan, hampir tidak ada satupun orang yang beraktivitas di luar rumah pada waktu-waktu menjelang berbuka puasa.
Setiap orang akan berada di rumah, menikmati makanan khas berbuka masyarakat Maroko, setidaknya tiga menu utama yaitu kurma, manis-manisan, dan sup tomat (harira).
Barulah beberapa tahun belakangan ini, tepatnya setelah pandemi covid-19 berakhir, para keluarga Maroko yang tinggal di kota-kota besar seperti Casablanca dan Rabat mulai mempertimbangkan untuk membawa bekal dari rumah dan berbuka bersama keluarganya di beberapa tempat publik, seperti pantai atau taman umum.
Tradisi menghidupi malam-malam Ramadhan ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakatnya, namun juga keluarga kerajaan. Raja Maroko Mohammed VI setiap tahunnya pada bulan Ramadhan selalu rutin mengadakan kegiatan durus hassaniyah, yaitu majelis keilmuan yang dihadiri oleh keluarga istana, dengan mendatangkan ulama-ulama dan pembesar agama dari seluruh dunia untuk menjadi pengisi acara, maupun sekadar hadir dan menyimak majelis keilmuan tersebut.
Seluruh keperluan tamu undangan dibiayai oleh kerajaan, mulai dari akomodasi tiket, moda transportasi, penginapan, hingga kunjungan-kunjungan, seluruhnya dibiayai oleh kerajaan. Kegiatan ini dilaksanakan beberapa kali selama Ramadhan, dan intensitasnya ditingkatkan ketika memasuki sepuluh malam terakhir Ramadhan.
Raja Mohammed VI dan keluarga kerajaan juga hampir rutin mengikuti sholat tarawih pada malam 27 Ramadhan di Masjid Hassan II di Casablanca, yang merupakan masjid nasional Maroko, dan biasanya dihabiskan di masjid istana dengan keluarga kerajaan.
Masih banyak kesan-kesan selama menjalani bulan Ramadhan di Maroko yang sebenarnya dapat saya tuangkan dalam tulisan kali ini. Namun pada intinya, seperti permisalan di awal tulisan, bahwa sebagaimana waktu-waktu tambahan menjelang akhir laga atau injury time dalam sebuah pertandingan sepak bola kerap menjadi waktu penentu akhir pertandingan, maka harus dilaksanakan dengan penuh spirit dan mengerahkan seluruh kemampuan untuk meraih kemenangan.
Begitu pula Ramadhan, terlebih, kita dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kemuliaan yang tidak dijanjikan kepada umat lain selain Islam jika berhasil menjadi pemenang setelah melewati malam-malam terakhir di bulan Ramadhan, yaitu predikat ketakwaan kepada Allah, ampunan-Nya, dan tempat di surga-Nya kelak.
Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mampu memaksimalkan kesempatan tersebut. Aamiin Allahumma aamiin.
Wallahu a'lam bisshawab.
Penulis:
Asyraf Muntazhar Lc
Mahasiswa S-2 Ilmu Teologi di Universitas Hassan II Casablanca, Maroko.
(Hantoro)