JEDDAH - Gelaran Islamic Arts Biennale 2025 dilangsungkan di Jeddah, Arab Saudi, sejak 25 Januari hingga 25 Mei 2025. Diselenggarakan Diriyah Biennale Foundation, Okezone menjadi saksi acara ini bukan sekadar pameran seni biasa, melainkan panggung megah untuk merayakan kekayaan dan keragaman seni Islam dari seluruh penjuru dunia.
Berlangsung di Terminal Haji Barat Bandara Internasional King Abdulaziz, Biennale ini menghadirkan pengalaman artistik yang luar biasa. Ruang pameran yang dulu menjadi tempat jutaan jamaah memulai perjalanan spiritual, kini diubah menjadi ruang yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan seni Islam.
Mengusung tema “And All That Is In Between”, Biennale ini terinspirasi dari ayat Alquran yang menggambarkan penciptaan langit, bumi, dan segala sesuatu di antaranya. Tema tersebut mengajak pengunjung untuk merenungkan bagaimana keimanan bisa hadir dalam bentuk rasa, pikiran, dan karya seni yang mendalam.
Partisipasi tahun ini mencakup lebih dari 30 institusi ternama, seperti Museum Louvre (Paris), Victoria and Albert Museum (London), hingga Museum of Islamic Art (Doha). Deretan nama besar ini menegaskan posisi Biennale sebagai ruang pertemuan penting bagi pelaku dan pencinta seni Islam di kancah global.
Menariknya, Indonesia bersinar melalui kehadiran tiga institusi budaya: Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas), Museum Sonobudoyo Yogyakarta, dan Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB). Partisipasi ini menjadi bukti seni dan budaya Islam di Indonesia memiliki tempat istimewa dalam khazanah Islam dunia.
Dari Perpusnas, empat naskah kuno dipamerkan. Sebut saja Kutika Bugis dan Ilmu Perbintangan, dokumen yang tak hanya menunjukan kekayaan ilmu pengetahuan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana spiritualitas dan intelektualitas saling mengisi dalam tradisi Islam Nusantara.
Sementara itu, Museum Sonobudoyo membawa koleksi Wayang Sadat dan batik geometris yang sarat makna. Misalnya Wayang Sadat yang menyampaikan kisah dakwah Wali Sanga melalui karakter-karakter simbolis yang memadukan nilai tauhid dan kearifan lokal. Batik geometris yang ditampilkan pun merefleksikan keterkaitan antara matematika, seni, dan spiritualitas dalam kebudayaan Jawa.
Museum NTB tak kalah menarik dengan koleksi seperti Cipo’ Cila (kerudung tradisional perempuan Sumbawa), kitab Tajul Muluk, dan Pekinangan, yang menyuarakan perpaduan antara adat lokal dan nilai-nilai Islam yang telah mengakar kuat di masyarakat setempat.
Keikutsertaan Indonesia tak berhenti di situ. Ini bukan sekadar pameran, tetapi juga bentuk diplomasi budaya, sebuah langkah strategis memperkenalkan wajah Islam Nusantara yang ramah dan penuh kreativitas kepada dunia.
Sorotan utama Biennale adalah pameran Kiswah (kain penutup Kakbah) yang untuk pertama kalinya dipamerkan di luar Makkah. Kain suci ini memperlihatkan keahlian luar biasa dari para pengrajin di Pabrik Kiswah, sebuah simbol dari keagungan spiritual dan dedikasi manusia dalam menyembah Sang Pencipta.
Ada pula instalasi AlMathala, reinterpretasi taman Islam klasik dalam nuansa kontemporer. Pengunjung diajak menyusuri ruang yang menggabungkan alam, seni, dan ketenangan batin, seolah berada di antara bumi dan langit.
Biennale ini juga menghadirkan AlMusalla Prize, sebuah desain internasional untuk musalla (tempat salat kecil) yang inovatif dan berkelanjutan. Secara keseluruhan, lebih dari 500 objek seni dan artefak sejarah dipamerkan. Setiap karya mengandung refleksi akan hubungan manusia dengan Yang Ilahi, menjadikan Biennale ini lebih dari sekadar pameran, melainkan ruang spiritual yang hidup.
Keterlibatan institusi global dari berbagai negara memperkuat posisi Biennale sebagai ajang utama untuk pertukaran ide dan kolaborasi lintas budaya. Sementara itu, kehadiran Indonesia memberi warna tersendiri, sebuah penegasan bahwa Islam di Asia Tenggara punya cerita, warisan, dan suara yang patut didengar.
Lewat karya-karya yang dipamerkan, kita bisa melihat bagaimana seni tradisional mampu beradaptasi dengan nilai-nilai Islam tanpa kehilangan akar budaya lokalnya. Dari wayang, batik, hingga manuskrip kuno, semuanya menjadi bukti bahwa Islam di Indonesia berkembang dengan indah dalam pelukan tradisi.
Islamic Arts Biennale 2025 bukan hanya ruang apresiasi seni, tetapi juga ruang belajar bagi siapa pun yang ingin mengenal lebih dekat wajah Islam yang beragam, dinamis, dan terus berkembang. Di tengah dinamika itu, Indonesia hadir sebagai kontributor aktif yang mengangkat cerita-cerita dari Timur dengan suara yang penuh makna.
Salah satu mahasiswa asal Indonesia di Arab Saudi, Andi Nugroho, memberi penilaian akan Islamic Binneale Arts 2025. Ia takjub karena ada budaya Indonesia yang dipamerkan di ajang yang resmi ditutup kemarin tersebut.
“Ini merupakan pameran Islamic, tidak hanya di Arab Saudi tapi dari seluruh dunia fenomenanya, termasuk Indonesia. Pameran dari Indonesia menampilkan batik, wayang. Hal itu membuktikan ada influence dari Indonesia ke dunia islam,” kata Andi Nugroho, salah satu mahasiswa S2 Universitas King Abdulaziz, Jeddah, Arab Saudi.
Respons serupa ditunjukkan mahasiswa S2 Universitas King Abdulaziz lain, Tania. Ia banyak belajar bagaimana islam masuk ke Indonesia melalui pameran ini.
“Inspiratif banget di dalam. Melihat banyak art-art yang didesain langsung para desainer, tak cuma dari Arab Saudi tapi juga dari negara lain. Terus ada juga edukasi soal masa lalu, seperti bagaimana islam masuk ke Indonesia,” tutup Tania.
(Ramdani Bur)