Bagi Iqra Ismail, bermain sepakbola bukan hanya sekedar kegemaran, tapi juga tantangan yang harus ia taklukkan sejak usia belia. Ketika berusia 14 tahun, pesepakbola muslimah yang tinggal di Inggris ini sudah ditempa.
Di suatu waktu ia pernah mengatakan kepada sang pelatih bahwa sebagai pesepakbola muslimah ia tidak bisa memakai celana pendek. "Oh, maafkan saya," jawab pelatih yang sedikit panik, "Saya belum pernah memiliki pemain muslim di tim saya sebelumnya." "Segera saya merasa seperti orang asing," kata Iqra, merefleksikan insiden lima tahun lalu.
"Rekan-rekan satu tim saya pun berkata: 'Iqra, tidakkah kamu kepanasan (memakai hijab)' dan saya harus berhenti bermain sejenak dan menjelaskan 'ini bukan tentang panas, ini hal tentang aturan agama.”
Di lansir dalam situs About Islam, tak berhenti dari masalah busana, Iqra pun sering mendapat pertanyaan dari temannya karena terlihat tidak minum saat jeda latiha. "Iqra, apakah kamu kehabisan air? Iqra pun harus menjelaskan bahwa saat itu bulan Ramadan dimana semua umat muslim di dunia menunaikan ibadah puasa.
Tantangan menjadi pesepakbola muslimah di Eropa bukan hanya soal busana dan pemahaman minim soal ajaran islam, diskriminasi terhadap perempuan juga masih dominan dalam olahraga sepakbola. Beberapa klub menolak Iqra selama empat tahun berturut-turut.
Sementara pindah ke Amerika Serikat lantaran mendapat tawarqan untuk bergabung dengan klub baru, tak diizinkan ibunya. Restu dari sang ibu tak diberikan lantaran sentimen antimuslim tengah menguat di Amerika. "Itu menghancurkan saya saat itu," katanya.
"Sepakbola wanita belum ada di sini saat itu dan Amerika adalah tempat untuk mencapai karier yang saya inginkan," ujar pesepakbola muslimah tersebut.