Wabah COVID-19 mengubah tatanan dunia, termasuk bagaimana umat manusia bersosialisasi, dari bersalaman lalu dilarang bersalaman. Bahkan harus melakukan physical distancing.
Begitu pula dalam hal beribadah. Sholat Jumat bahkan ditiadakan demi mencegah penularan COVID-19.
Dalam hal kematian pun, negara di barat mulai mengusulkan kremasi bagi warganya yang meninggal akibat COVID-19. Sebab kremasi dinilai sebagai opsi mencegah penularan.

Namun bagi muslim kremasi bukanlah suatu pilihan. Kremasi bukan cara Islam mengantarkan jenazah seorang muslim ke tempat peristirahatan terakhirnya.
"Dalam Islam masih ada hubungan antara tubuh dan jiwa bahkan dalam kematian, jadi ini adalah sesuatu yang sangat metafisik, dan itu adalah kepercayaan yang sangat kuat," ujar staf servis layanan pemakaman muslim di Australia, Mariam Ardati.
Tetapi ketika COVID-19 menyebar secara global, dan kematian meningkat, komunitas muslim dan Yahudi di barat sama-sama dipaksa untuk mempertimbangkan kembali soal upacara pemakaman.
Menurut Ardati ide melakukan kremasi terhadap jenazah yang terkena COVID-19 menyebabkan kepanikan.
"Sebab ini menyangkut pemberian hak kepada seseorang yang sudah meninggal. Seperti seseorang memiliki hak yang diberikan kepada mereka ketika mereka masih hidup. Muslim berhak untuk dimandikan, dikafani, dan dimakamkan, bukan dikremasi," terang Ardati.
"Dalam Islam doa sholat jenazah yang dipersembahkan untuk almarhum. Saat itulah seluruh keluarga dan kerabat berkumpul," jelas Ardati.
Jenazah muslim dimakamkan dengan diletakkan langsung di atas tanah. Bukan di dalam peti mati.
Seperti dilansir ABC, pekan lalu, Dewan Imam Nasional Australia (ANIC) mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa jenazah muslim terinfeksi virus corona diperbolehkan dikuburkan di dalam kantong plastik anti bocor agar COVID-19 tak menyebar. Langkah ini disetujui oleh Dewan Fatwa.
Ardati mengatakan, beberapa layanan pemakaman Islam telah merilis pernyataan yang menjelaskan bahwa mereka tidak akan memandikan jenazah yang terinfeksi corona.
Namun ada juga layanan pemakaman Islam yang memberikan layanan memandikan jenazah saat mereka mempunyai alat perlindung diri (APD) yang memadai.
Namun mengingat tenaga medis saja kekurangan APD, maka tidak mungkin staf layanan pemakaman mendapatkan APD.
Di dunia internasional, ribuan korban meninggal karena COVID-19 kebanyakan dikremasi.
Bahkan Pemerintah Inggris baru-baru ini mengeluarkan RUU darurat yang ditakuti oleh berbagai kelompok agama yang memungkinkan otoritas negara untuk menganjurkan kremasi.
Sementara undang-undang tersebut diamandemen untuk menghormati kebebasan beragama, ketakutan terhadap kremasi masih menghantui berbagai kelompok-kelompok agama.
Di Argentina, dilaporkan bahwa pemerintah setempat telah mengkremasi korban pertama COVID-19 yang merupakan umat Yahudi. Komunitas mereka memprotes hal itu.
Rabi Jeffrey Kamins dari Emanuel Synagogue di Sydney, Australia mengatakan, ada banyak kesamaan antara ritual Islam dan Yahudi.
"Kremasi dilarang oleh kedua tradisi baik Islam dan Yahudi. Bagi kami, tubuh itu suci, dan penguburan adalah aspek inti yang harus diberikan kepada umat yang meninggal."