Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Mengubah Tragedi Menjadi Transendensi: Refleksi Reformasi 98 dan Pandemi Covid-19

Mengubah Tragedi Menjadi Transendensi: Refleksi Reformasi 98 dan Pandemi Covid-19
Indonesia Lawan Corona
A
A
A

Bismillahirrahmanirrahim, "Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali manusia sendiri merubahnya", (QS:13:11).

Kehidupan tak ubahnya panggung teatrikal, berubah dari episode satu ke episode lainnya. Perform dari drama tangis dan tawa silih berganti. Sementara manusia adalah pelakon-pelakon berbakat yang siap mementaskan karakter apapun, sesuai skenario yang bercorak determinis, di mana Sang Projector Tunggal adalah Tuhan.

Plato menyebutkan, bahwa apapun yang eksis di dunia ini bermula dari alam ide. Ibnu Arabi menggunakan istilah yang berbeda, bahwa sequential perjalanan makhluk kosmos telah ditentukan di alam a'yan tsabitah (alam ketetapan).

Pandangan di atas, sering disalah tafsirkan sebagai doktrin fatalistik, dimana manusia berada pada posisi menunggu takdir, pasif dan tak memiliki kekuatan apapun dalam menjalani kehidupan. Perspektif yang berbeda muncul dari penganut aliran kehendak bebas (free will), bahwa manusia satu-satunya makhluk penduduk bumi yang memiliki kebebasan penuh atas diri dan lingkungan sosialnya termasuk merasa menjadi Tuan bagi alam raya.

Jumlah korban positif corona

(Baca Juga : Aa Gym Sebuta Banyak yang Kecewa dan Terkhianati di Tengah Wabah Corona)

Ada kelompok lain, yang mengapresiasi dengan arif, bahwa kehidupan dengan segala variannya memang tak lepas dari urusan Tuhan dan juga kehendak bebas manusia. Tuhan di sini dipahami sebagai pengada dan konsekuensi logisnya, manusia wajib meyakini, bahwa manusia mengada (contingency) disebabkan karena Dia Ada (Being). Maka berimanlah, jangan menjadi ateis. Jangan meletakkan Tuhan di wilayah periferal, karena Dia adalah Sang Pusat.

Ada hubungan apa antara Reformasi '98 dan Covid-19 ?

Dalam jarak waktu yang cukup lama antara reformasi tahun 1988 dan Covid-19 tahun 2020, secara sepintas memang tak memiliki relasi apapun. Tapi kedua peristiwa di atas adalah tragedi kemanusiaan dan kita menyebutnya sebagai "layar hitam pertunjukan, Mei berdarah". Dan kita patut hening sejenak, menghadirkan rasa, memutar rekaman peristiwa yang pilu, lalu bergegas untuk tidak lena, agar akal budi kita berfungsi dengan benar.

(Baca Juga : Ilmuwan Muslim Ditunjuk Jadi Kepala Program Vaksin Covid-19 Amerika)

Reformasi '98 merupakan tragedi yang diakibatkan alpanya Negara terhadap kedaulatan dan kemanusiaan, dengan segala indikatornya. Sehingga nalar waras manusia Indonesia berikhtiar untuk menyudahi tragedi yang terus menerus dilakonkan oleh penguasa saat itu. Drama bercorak otoritarianisme, nepotisme, sarat KKN berakhir dengan jatuhnya pemerintahan orde baru dan kemenangan demokrasi.

Momen bersejarah itu bernama Re-formasi '98. Seluruh komponen anak bangsa bernafas lega. Kemudian lahir episode baru dengan semangat kemanusiaan yang menggelegar diseluruh antero nusantara. Tersemai harapan akan terciptanya demokrasi yang utuh.

Tragedi kemanusiaan itu terjadi di bulan Mei, 22 tahun yang lalu, tetapi masih menorehkan luka bagi demokrasi, tragedi berdarah, hilangnya ratusan nyawa, gugurnya para generasi penerus peradaban, mengakibatkan rasa sakit, menyisakan tangis dan suara bisu, ketidak percayaan dan deretan rasa duka masih menyelimuti sebagian masyarakat. Karena sampai hari ini dari enam tuntutan reformasi belum terselesaikan.

(Baca Juga : Kisah Wanita Inggris di Zaman Ratu Victoria, Masuk Islam Usai Bertemu Paus)

Covid-19, meskipun bukan tragedi yang bersumber dari rencana manusia, ia hadir memporak porandakan tatanan kehidupan disegala sektor. Karena covid-19 adalah kemarahan kosmik, bahasa Tuhan untuk menyadarkan arogansi manusia. Banyak tafsir berkelindan untuk memaknai setiap tragedi yang terjadi, dari yang melihat fenomena sebagai kejadian fisik semata sampai pada penafsir yang membaca fenomena sebagai anagogical symbol.

Hal yang paling membingungkan dan membuat rakyat geram dan marah, bukan pandemi Covid-nya, tetapi koreksi dan reaksi terhadap kebijakan pemerintah yang kurang terkoordinasikan secara matang, saling berebut panggung karena ego sektoral, terkesan Negara tidak mempunyai kemampuan manajerial dan plin plan (inkonsisten).

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement