Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Hukum Bayi Tabung Menurut Syariat Islam

Hantoro , Jurnalis-Rabu, 12 Januari 2022 |11:16 WIB
Hukum Bayi Tabung Menurut Syariat Islam
Ilustrasi hukum bayi tabung menurut syariat Islam. (Foto: Shutterstock)
A
A
A

HUKUM bayi tabung menurut syariat Islam ternyata cukup banyak ingin diketahui kaum Muslimin. Apakah boleh atau justru dilarang? Simak keterangan lengkapnya berikut ini.

Dikutip dari laman Rumaysho, Rabu (12/1/2022), Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal MSc menjelaskan bahwa hukum inseminasi buatan dan bayi tabung di dalam rahim atau di luar rahim dapat dirinci sebagai berikut.

Baca juga: Hukum Melakukan Kremasi Jenazah, Ini Penjelasannya Menurut Syariat Islam 

Pertama: Jika metodenya adalah dengan mendatangkan pihak ketiga –selain suami istri– baik dengan memanfaatkan sperma, sel telur, atau rahimnya, atau pula dilakukan setelah berakhir ikatan pernikahan, maka metode ini dihukumi haram. Inilah pendapat kebanyakan ulama mu’ashirin (kontemporer) saat ini.

Nadwah Al Injab fi Dhouil Islam, suatu musyawarah para ulama di Kuwait 11 Syakban 1403 H (23 Maret 1983) ketika membicarakan hukum bayi tabung memutuskan:

Terkait dengan judul "bayi tabung", hukumnya boleh secara syari jika dilakukan antara suami istri, saat masih memiliki ikatan suami istri, dan dipastikan dengan teliti bahwa tidak bercampur dengan nasab yang lain. Namun ada ulama yang bersikap hati-hati walau dijaga ketat seperti itu tetap tidak membolehkan agar tidak terjerumus pada sesuatu yang terlarang.

Disepakati hukumnya haram jika ada pihak ketiga yang turut serta baik berperan dalam mendonor sperma, sel telur, janin atau rahimnya. Demikian keputusan dari musyawarah tersebut.

Baca juga: Hukum Menceraikan Istri atas Perintah Orang Tua 

Kedua: Jika metodenya adalah dengan inseminasi buatan di luar rahim antara sperma dan sel telur suami istri yang sah namun fertilisasi (pembuahan) dilakukan di rahim wanita lain yang menjadi istri kedua dari si pemilik sperma, maka para ulama berselisih pendapat. Yang lebih tepat dalam masalah ini, tetap diharamkan karena ada peran pihak ketiga dalam hal ini.

Ketiga: Jika metodenya adalah dengan inseminasi setelah wafatnya suami, para ulama pun berselisih pendapat. Yang lebih tepat, tetap diharamkan karena dengan wafatnya suami, maka berakhir pula akad pernikahan. Dan jika inseminasi tersebut dilakukan pada masa ‘iddah, itu suatu pelanggaran karena dalam masa ‘iddah masih dibuktikan rahim itu kosong.

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement