Pendapat kedua menyatakan bahwa hukumnya mubah (boleh), baik setelah berwudhu atau setelah mandi. Para ulama yang berpendapat seperti ini berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِرْقَةٌ يُنَشِّفُ بِهَا بَعْدَ الوُضُوءِ
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kain yang beliau gunakan untuk mengeringkan anggota badan setelah berwudhu." (HR At-Tirmidzi nomor 53, dan beliau mendha'ifkan hadis ini. Namun yang lebih tepat, hadis ini memiliki penguat sehingga dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ hadis nomor 4706)
Juga hadis yang diriwayatkan oleh Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ، فَقَلَبَ جُبَّةَ صُوفٍ كَانَتْ عَلَيْهِ، فَمَسَحَ بِهَا وَجْهَهُ
"Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, kemudian membalik jubah wol beliau dan mengusap wajahnya dengannya (bagian dalam jubahnya, pen)." (HR Ibnu Majah nomor 468 dengan sanad yang hasan)
Para ulama yang membolehkan berargumentasi bahwa hadis Maimunah radhiyallahu ‘anha tersebut tidak bisa digunakan sebagai dasar makruhnya mengeringkan anggota badan setelah berwudhu atau mandi. Hal ini karena penolakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut mengandung banyak kemungkinan, misalnya karena kainnya yang kotor (tidak bersih), atau beliau tidak ingin kain tersebut basah terkena air, atau alasan-alasan lainnya.
Selain itu, hadis Maimunah radhiyallahu ‘anha ini justru mengisyaratkan bahwa di antara kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau biasa mengeringkan anggota badan setelah berwudhu sehingga Maimunah pun menyiapkan kain untuk beliau. Isyarat ini dikuatkan oleh hadis ‘Asiyah radhiyallahu ‘anha yang menyatakan bahwa beliau memiliki kain khusus yang biasa beliau gunakan untuk menyeka air setelah berwudhu.