Berdasarkan hadits tersebut maka qiyas najis anjing sama dengan najis babi sangat lemah dan tidak memiliki dasar yang kuat. Sebab jika harus dicuci sebagaimana air liur anjing, tentu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada Abu Tsa'labah ketika dia bertanya dan tidak menunda penjelasannya.
Namun dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya memerintahkan untuk mencuci sampai bersih, tanpa ada perintah secara spesifik untuk dicuci sebanyak tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan tanah (debu).
Saat menanggapi para ulama yang menyamakan najis kulit babi dengan air liur anjing, Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata:
وهذا قياس ضعيف ؛ لأن الخنزير مذكور في القرآن ، وموجود في عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، ولم يرد إلحاقه بالكلب ، فالصحيح أن نجاسته كنجاسة غيره ، لا يغسل سبع مرات إحداها بالتراب
"(Menyamakan kulit babi dengan air liur anjing) adalah qiyas (analogi) yang lemah. Karena babi telah disebutkan dalam Alquran dan sudah ada di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun tidak terdapat keterangan yang menyamakan babi dengan anjing. Oleh karena itu, yang tepat, status najis babi adalah sama dengan benda najis lainnya. Tidak perlu dicuci sampai tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan tanah." (Asy-Syarhul Mumthi', 1/356)