Menurut Profesor Dr KH Aswadi MAg, konsultan Ibadah PPIH Arab Saudi Daker Madinah, dalam Perjanjian Hudaibiyah ditetapkan bahwa Rasulullah dan umat Islam di Madinah tidak boleh berhaji selama 10 tahun. Perjanjian ini kemudian gagal.
"Perjanjian ini dilanggar oleh kaum Quraisy, sehingga pada tahun ke-9 Hijriah, Nabi memaklumatkan Fathu Makkah tahun ke-10 Hijriah," jelas KH Aswadi yang juga guru besar di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Pada tahun tersebut Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam menetapkan Zulhulaifah sebagai miqat haji atau umrah bagi para penduduk Madinah, termasuk orang-orang yang datang dari arah kota tersebut.
Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata, "Nabi Shallallahu alaihi wassallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Zulhulaifah, penduduk Syam di Juhfah, penduduk Nejad di Qarnul Manazil, dan penduduk Yaman di Yalamlam."
Nabi Shallallahu alaihi wassallam bersabda, “Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya dalam daerah miqat tersebut, maka miqat-nya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqat-nya juga dari Makkah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, seluruh jamaah haji Indonesia gelombang I, yang menuju Makkah dari arah Madinah, mengambil miqat di Masjid Bir Ali atau Zulhulaifah sebelum melaksanakan ibadah umrah. Di masjid ini, jamaah haji melaksanakan sholat sunnah ihram 2 rakaat dan berniat ihram.
Wallahu a'lam bisshawab.
(Hantoro)