Namun, ada sejumlah ulama, seperti Yusuf al-Qaradhawi berpendapat larangan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak bersifat mutlak. Menurut mereka, kebolehan ini bergantung pada dua syarat utama. Syaratnya adalah tidak adanya syahwat dan potensi fitnah.
Pandangan ini didasarkan pada penafsiran yang lebih fleksibel terhadap dalil-dalil yang ada. Al-Qaradhawi merujuk pada QS An-Nur [24]: 60, yang memberikan keringanan bagi perempuan tua yang tidak lagi memiliki hasrat untuk menikah untuk menanggalkan pakaian luar mereka tanpa bermaksud memamerkan perhiasan.
Ayat ini, bersama dengan pengecualian dalam QS an-Nur [24]: 31 tentang “pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan terhadap perempuan” (ghayr uli al-irbah min ar-rijal) dan anak-anak yang belum memahami aurat, menjadi dasar bahwa interaksi dengan lawan jenis diperbolehkan jika tidak memicu syahwat atau fitnah.
Selain itu, al-Qaradhawi menyoroti riwayat lain tentang baiat Rasulullah SAW dengan perempuan, seperti yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyyah RA:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ: لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا, وَنَهَانَا عَنِ النِّيَاحَةِ، فَقَبَضَتِ امْرَأَةٌ مِنَّا يَدَهَا …
“Nabi SAW telah membaiat kami—perempuan Anshar—dan membacakan kepada kami ‘tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu pun’ dan melarang kami meratapi (mayat), lalu di antara kami ada yang mendekap (berjabat tangan) dengan kedua tangan Rasulullah…” (Mukhtasar Shahih al-Bukhari).
Riwayat ini, bersama riwayat lain dari Ibn Hibban dan ath-Thabari, menunjukkan dalam beberapa kesempatan, Rasulullah SAW melakukan jabat tangan dengan perempuan, meskipun dengan cara tertentu. Ini seperti melalui penghalang atau dengan memasukkan tangan ke dalam bejana.
Menurut Ibn Hajar, baiat Rasulullah kepada perempuan terjadi berkali-kali dengan praktik yang bervariasi, sehingga tidak semua baiat dilakukan tanpa sentuhan. Al-Qaradhawi menyimpulkan, keengganan Rasulullah untuk berjabat tangan dalam riwayat Aisyah tidak serta-merta menunjukkan keharaman, tetapi bisa diartikan sebagai tindakan kehati-hatian (ihtiyat) atau bahkan mubah.