Mengenai hadis yang melarang “menyentuh” perempuan non-mahram, al-Qaradhawi berpendapat, kata al-massu (menyentuh) dalam hadis tersebut bersifat zhanni ad-dilalah (multitafsir). Kata ini bisa merujuk pada hubungan seksual, sebagaimana penafsiran Ibn ‘Abbas terhadap frasa aw lāmastum an-nisā’ dalam Alquran sebagai kiasan untuk hubungan intim.
Dengan demikian, hadis tersebut tidak secara pasti melarang berjabat tangan, terutama jika dilakukan tanpa syahwat dan dalam konteks yang aman dari fitnah.
Berdasarkan dalil-dalil, dapat disimpulkan, berjabat tangan dalam Islam pada dasarnya adalah perbuatan yang dianjurkan karena memiliki nilai ibadah dan mempererat ukhuwah. Namun, ketika melibatkan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, Islam mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Larangan berjabat tangan dengan bukan mahram tidak bersifat mutlak, tetapi bertujuan mencegah syahwat terlarang dan fitnah, sebagaimana kaidah ushul fikih:
دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المصَالِحِ
“Menolak kemafsadatan didahulukan atas mengambil kemaslahatan.”
Karena itu, dalam situasi berjabat tangan berpotensi menimbulkan fitnah atau syahwat, sebaiknya dihindari. Namun, dalam konteks tertentu, seperti dalam situasi yang terjamin tidak memicu fitnah, sebagian ulama memperbolehkan dengan syarat ketat. Wallahualam
(Erha Aprili Ramadhoni)